Rabu, 28 November 2018

Dialog Dahysat Umar bin Abdul Aziz dan Putranya

Siang itu, saat qailulah (tidur siang menjelang dzuhur), Umar bin Abdul Aziz hendak merebahkan punggungnya sejenak. Ia belum lama dibaiat sebagai khalifah. Putranya, Abdul Malik yang masih sangat belia dan dikenal sholih serta ahli ilmu masuk menemui ayahnya itu, protes.

Abdul Malik berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apa jawabanmu kelak di hadapan Rabb mu jika Dia bertanya kepadamu: kamu melihat bid’ah dan tidak kamu matikan atau sunnah dan tidak kamu hidupkan?

Umar Bin Abdul Aziz menjawab tenang, “Semoga Allah merahmatimu dan membalas kebaikanmu sebagai anak yang baik. Anakku, sesungguhnya masyarakatmu dulu telah melakukan semua itu seikat demi seikat hingga kuat sekali, maka kapan pun kamu hendak mencabutnya dari mereka, aku khawatir mereka akan membuat gaduh dan pertikaian hingga akan banyak pertumpahan darah.

Abdul Malik bertanya lagi, “Wahai ayah, apa yang menghalangimu untuk segera menegakkan keadilan seperti yang kau inginkan?”

Umar bin Abdul Aziz menjelaskan strateginya, “Wahai anakku, sesungguhnya aku ingin melatih dan mengajak masyarakat sebuah latihan yang sulit. Aku ingin menghidupkan keadilan, tapi aku akhirkan agar aku bisa mengeluarkannya bersamaan dengan sifat tamak terhadap dunia. Agar mereka lari dari ini dan masuk dengan tenang ke ini.”

Senin, 26 November 2018

Menata Cara Pandang Ketika Sakit


Beberapa hari ini saya menerima curhatan salah satu jamaah masjid dekat rumah. Salah satu kegelisahan yang banyak dialami oleh setiap manusia adalah sakit. sebenarnya saya tidak terlalu merisaukan penyakitnya, akan tetapi cara ia menyikapi penyakit yang berlebihanlah yang membuat saya kasihan. Selengkapnya Baca: Energi Stagnan Terkait dengan Penyakit

Konsep Pengobatan  Nabi secara sederhana dapat  kita lihat pada bagaimana Nabi Muhammad Shalaullahhu ‘alaihi wassalam bersikap dan bertindak saat  menjenguk seorang  yang sakit  :

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk Ummu as-Saib (atau Ummu al-Musayyib), kemudian beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi denganmu wahai Ummu al-Sa’ib , kenapa kamu bergetar?’ Dia menjawab, ‘Sakit demam yang tidak ada keberkahan Allah padanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat’.“ (HR. Muslim 4/1993, no. 2575)

Dari hadist tersebut sikap pertama yang ditunjukkan Nabi adalah jangan mencela penyakit.

Ini adalah sikap  Nabi yang utama dalam menghadapi penyakit sebelum melakukan tindakan yang lainnya. Ucapan Nabi ini untuk menata secara benar cara pandang / paradigma tentang penyakit baik sebagai pengobat maupun pesakit.

Sabtu, 10 November 2018

Kepahlawanan Masa lalu, Hari ini, dan Masa Depan

Setiap tahun,  Indonesia menobatkan tanggal 10 November  sebagai hari pahlawan. Pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta “Phala-Wan”, artinya orang yang menghasilkan buah atau hasil karya (phala). 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut sebagai pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Sedangkan dalam Peraturan Presiden No. 33 tahun 1964, untuk disebut Pahlawan harus memenuhi kriteria tertentu dan yang bersangkutan telah wafat dan sebagai seorang pejuang.

Karya besar, penuh pengorbanan dan jelas manfaatnya bagi kehidupan manusia dan lingkungan adalah pekerjaan kepahlawanan. Apapun motif niatnya, manusia patut menghargainya.

Ustadz Rosyadi mengingatkan, bagi kita yang memiliki kerja kepahlawanan itu tentu tidak cukup demi memperoleh penghargaan manusia. Justru bagi para perindu cinta Ilahi dan kampung surgawi bukan kerja kepahlawan semata yang ditekuninya tetapi dia juga mengawal dan memastikan motif niat dirinya dalam mengerjakan semua itu.

Bagi orang yang mencintai kampung akhirat dan amat besar cintanya kepada Sang Pencipta, apresiasi dari Allah jauh lebih penting dan utama daripada yang diperoleh dari manusia.

Rabu, 07 November 2018

Mengenal Allah Sebagai Pondasi Kehidupan

Secara fitrah, manusia memiliki kebutuhan standar. Dalam salah satu bukunya, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderunagn untuk mencintai dirinya, mencintai kesempurnaannya, serta mencintai eksistensinya. Dan sebaliknya, manusia cenderung membenci hal-hal yang dapat menghancurkan, meniadakan, mengurangi atau menghancurkan kesempurnaan itu.

Orang besar terkenal banyak dipuji-puji, memiliki pengaruh dan kekayaan yang melimpah, pengikutnya beribu-ribu bahkan jutaan, akan takut setengah mati jika takdir mendadak merubahnya menjadi miskin, lemah, bangkrut, terasing atau ditinggalkan manusia. 

Begitulah tabiat manusia. Padahal, kecintaan kita kepada selain Allah sampai begitu banyak, maka cinta itu pasti akan musnah.

Seharusnya kebutuhan kita akan kebahagiaan duniawi, membuat kita berpikir bahwa Allahlah satu-satunya yang memiliki semua itu. 

Adapun kekhawatiran tentang standar kebutuhan kita, mestinya membuat kita berlindung dan berharap kepada Allah dengan mengamalkan apa-apa yang disukainya. Jadi, kebutuhan pada diri kita itu seharusnya menjadi jalan supaya kita mencintai Allah.

Kamis, 01 November 2018

Iman Kepada Qodha dan Qodar Sebagai Stabilisator Ujian Hidup

Apakah Anda percaya bahwa setiap manusia punya takdirnya masing-masing? Kelahiran, kematian, rezeki, pertemuan, perpisahan, kemenangan, kekalahan, naik dan jatuh, aneka episode hidup kita adalah takdir. Ya, kita setiap hari selalu berjalan dari satu takdir ke takdir yang lain. Kita baru mengetahui itu takdir, ketika peristiwa itu terjadi.

Beberapa manusia yang beriman kepada Allah menerima dengan lapang dada setiap takdir yang terjadi. Tapi, tidak sedikit yang mengalami kegoncangan jiwa yang amat perih ketika menjalani takdir yang telah ditetapkan. lalu bagaimana kita memahmi rukun iman kepada Takdir agar menjadi stabilisator ujian dalam hidup? saya akan berbagi, pelajaran yang saya dapatkan dari Ustadz R. Rosyad.

Iman kepada Qodha dan Qodar (terhadap peristiwa yang baik dan yang buruk) adalah pilar ke 6 dari arkanul IMAN. Diantara fungsi penting iman ke 6 itu adalah menjadi pasak kuat yang mengokohkan 5 pilar keimanan sebelumnya.

Semua peristiwa hidup harus direspon secara baik dengan rukun ke 6 itu. Guncangnya pilar ke 6 bisa membuat guncang pilar-pilar iman lainnya.
 
Jika iman kuat, kokoh tidak terguncang, maka pilar-pilar ISLAM akan lebih mantap dilaksanakan. Dan jika pelaksanaan keislaman dilandasi dengan kepahaman yang terlatih, maka akan tumbuh keyakinan yang membuahkan IHSAN dalam setiap aspek kehidupan.