Rabu, 24 Oktober 2018

Tak Ada Rasa Aman Tanpa Keadilan


Seperti biasa, Abdullah bin Rawahah menunaikan tugasnya. Sahabat Rasulullah shalaullahhu ‘alaihi wassalam yang agung itu, setiap tahunnya pergi ke kampung orang-orang yahudi Bani Quraidhah untuk menghitung taksiran panen kurma.

Sesuai perjanjian, panen itu dibagi dua. Satu bagian untuk kaum muslimin di Madinah, dan setengahnya lagi untuk orang-orang yahudi itu.

Abdullah bin Rawahah terkenal kejeliannya dalam merinci taksiran hasil panen. Dari sana ia bisa membagi dengan sama kurma-kurma itu. Keadilan Abdullah bin Rawahah justru tidak disukai oleh orang-orang yahudi. Maka, suatu hari, mereka berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah, agat bisa mendapatkan bagian kurma yg lebih banyak.

Mengetahui hal itu, Abdullah bin Rawahah marah Kepada orang-orang yahudi itu lalu berkata, "Wahai musuh-musuh Allah, kalian hendak menyodorkan makanan yang haram kpdaku ? Padahal demi Allah aku datang dari sisi orang yang paling kucintai (Rasulullah shalaullahhu ‘alaihi wassalam) dan kalian adalah orang-orang yang paling aku benci, lebih besar dari kebencianku terhadap kera dan babi. Tapi kebencianku kepada kalian dan kecintaanku kepada Rasulullah shalaullahhu ‘alaihi wassalam tidak mempengaruhiku untuk tidak berbuat adil terhadap kalian".

Baca juga: Al-Qur'an membawa kebenaran dan Keadilan

Orang-orang yahudi itu terdiam. Bahkan mereka kemudian memuji sikap Abdullah seraya berkata, "Karena perbuatan seperti inilah, maka langit dan bumi menjadi tegak".

Ya, keadilan memang tiang pancang kehidupan. Kisah di atas tidak sekedar menggambarkan tabiat yahudi yang kotor. Tetapi juga gambaran yang sangat sempurna bagaimana sebuah keadilan diperankan. Tanpa keadilan seluruh sendi-sendi kebersamaan akan runtuh. Sebab, di dalam kebersamaan itu, setiap kita menjadi penanggung jawab orang lain, sekecil apapun bentuk tanggung jawab itu. Ada yang menjadi ketua, kepala, direktur, atasan atau apa saja bagi orang lain. Semuanya harus berlaku adil.

Di rumah, seorang ayah harus adil kepada keluarganya. Seorang kepala perusahaan harus bersikap adil kepada seluruh karyawannya. Seorang ketua RT, harus adil dalam memperlakukan warganya. Seorang pemimpin harus berbuat adil kepada orang yang dipimpinnya. Apalagi seorang penguasa, harus adil kepada rakyat yang mengangkatnya.

Hidup ini ibarat roda, yang tidak akan lancar berputar tanpa pelumas keadilan. Berputarnya hidup adalah berputarnya tanggung jawab dan penunaian hak antara satu orang dengan yang lain. Semuanya bertalian, seperti anak-anak tangga yang sangat tinggi. Yang di atas bertanggung jawab terhadap yang di bawahnya, yang di atasnya lagi bertanggung jawab terhadap siapa yang di bawahnya, begitu seterusnya. Bila anak tangga di atas patah, yang menjadi korban adalah anak tangga yg di bawahnya. Karena setiap kita, seperti kata Rasulullah shalaullahhu ‘alaihi wassalam, adalah pemimpin. Tanpa keadilan, terlalu mengerikan akibat yang ditimbulkan dari perputaran hidup ini. Tak akan ada tanggung jawab. Tak akan ada penunaian hak.

Dalam pengertian yang lebih korelatif, keharusan kita berlaku adil kepada orang lain, adalah investasi yang kebaikannya akan kembali kepada diri kita sendiri. Karena berlaku adil akan membuat kita dekat  kepada ketakwaan. Sedang takwa itu sendiri merupakan inti dari sumber ketenangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman, "Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa". ( QS. Al Maidah : 8 ). Maka, adil kepada siapa saja atau apa saja, sama artinya dengan adil kepada diri sendiri.

Adil lebih dekat dengan takwa, artinya, siapa yang berlaku adil akan lebih takut kepada Allah. Itu membuatnya selalu mengingat-Nya. Dan, hanya dengan mengingat Allah, justru hati kemudian menjadi tentram. Maka, adil adalah ketenangan dalam ketangguhan, ketika seseorang harus berbuat apa saja, tanpa manipulasi, tanpa interest yang buruk, dan tanpa kepentingan hawa nafsu. Karena ia sadar sepenuh hati, bahwa Tuhannya menyuruh untuk berlaku adil. Adil adalah kebahagiaan terdalam bagi orang-orang yang tidak pernah sempat melirik apa yang bukan menjadi haknya. Adil adalah ketulusan tanpa penghinaan diri.

Hanya keadilan satu-satunya jembatan yang dijamin bisa mengantarkan hak-hak orang yang berhak, sekaligus menahannya dari orang-orang yang tidak berhak. Ini makna lain dari rasa aman kolektif yang lebih luas dan berlapis-lapis, sebagai sebuah dari perilaku adil.

Puncaknya, adalah rasa aman yang diterima orang karena ia tahu, bahwa hak-haknya tidak akan diambil orang lain. Ia juga tahu, bahwa dirinya tidak akan dibebani dengan apa yang memang bukan keharusannya. Sedang, rasa aman minimum adalah rasa keberartiannya. Artinya, ia merasa punya andil bagi keberadaan orang lain. Bahwa orang dapat menghargai peran dirinya, sekecil apapun. Seperti seorang pengangkut sampah yang cukup terhibur dari rasa lelah, ketika para warga menghargai keberadaannya, walau hanya dengan ucapan terima kasih dan senyum tipis.

Keberartian itu penting. Meski ia hanya bagian kecil dari sumber rasa aman itu. Tetapi sesungguhnya kita tidak bisa hidup tanpa peran serta orang lain. Kalaulah tidak ada orang miskin, tentu tidak ada orang kaya. Kalaulah tidak ada rakyat, tentu tidak ada penguasa. Kalaulah tidak ada anak buah, tentu tidak ada kepala. Sesuatu dikenali karena ada pembanding dan pembedanya. Mungkin kita tidak akan pernah mengenal warna hitam, bila tidak pernah ada warna putih atau warna lainnya.

Bisakah kita membayangkan seperti apa hidup ini, bila semua orang tidak mau terikat dengan orang lain dalam hubungan yang saling menguntungkan ? Apalagi dalam hubungan yang berbau atasan dan bawahan ? Kala setiap orang merasa cukup dengan dirinya sendiri ? Sungguh, segalanya akan hampa, tanpa rasa, tanpa arti, dan tanpa makna. Maka, hanya dengan berlaku adil kita bisa menghargai keberartian orang lain dengan benar. Dan, hanya dengan itu pula kita bisa saling memberikan rasa aman yang paling minimum kepada sesama.

Karenanya, berlaku adil adalah tuntutan seluruh sisi kehidupan. Pada setiap kita ada hak-hak orang lain. Selalu saja ada sebagian dari nasib orang lain yang dititipkan Allah kepada kita. Setiap kita harus berlaku adil. Setidaknya mendekat-dekat kepada keadilan. Agar hidup bisa berjalan dengan irama yang semestinya.

Memang berat berlaku adil. Terlebih di sebuah negeri yang berhamburan orang-orang culas. Tetapi bagaimanapun, kita harus memulainya.

AZA

Photo Credit: kampoeng kurma

Jakarta, 13 Shafar 1440 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.