Senin, 04 Februari 2019

Cara Memahami Sunnah Allah Terkait Kesempitan dan Kesenangan


Adakah manusia yang hidup tidak pernah merasakan kesempitan dan kesenangan hidup? Semua hal itu pasti akan Allah pergilirkan diantara manusia untuk melihat bagaimana cara mereka menyikapinya.

Berbagai kejadian yang hadir dalam kehidupan manusia sebenarnya memberikan tanda-tanda dari Sang Pencipta agar hati kita tidak bisa berpaling dari-Nya.


وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنَا فِیۡ قَرۡیَۃٍ مِّنۡ نَّبِیٍّ اِلَّاۤ اَخَذۡنَاۤ اَہۡلَہَا بِالۡبَاۡسَآءِ وَ الضَّرَّآءِ لَعَلَّہُمۡ یَضَّرَّعُوۡنَ


Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri. (Q.S. Al-A’raaf: 94)

Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa salah satu dari sunah-Nya yang berlaku ialah bahwa bila Dia mengutus rasul-Nya kepada suatu umat kemudian umat tersebut mendustai rasulnya itu, maka Allah menimpakan cobaan kepada umat tersebut berupa kesempitan dan penderitaan.

Cobaan tersebut dimaksudkan untuk menginsyafkan mereka sehingga menjadi umat yang tunduk dan rendah hati serta dengan ikhlas berdoa kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala agar mereka dilepaskan dari azab tersebut.

Para ahli dalam ilmu jiwa dan ilmu pendidikan mengatakan, bahwa kemewahan dan kesenangan hidup menyebabkan manusia lupa kepada agama Tuhannya.


Akan tetapi, bila suatu ketika ia ditimpa kesusahan dan kesempitan, maka hal itu akan menimbulkan keinsyafan dalam hatinya, lalu kembali ke jalan yang ditunjukkan agamanya, dan berusaha untuk memperbaiki dirinya.

Seseorang barulah dapat merasakan nikmat kekayaan bila suatu ketika ia pernah kehilangan kekayaan itu. Ia baru mengerti nikmat kesehatan bila suatu ketika ia pernah merasa kehilangan kesehatannya itu.

Demikian pula halnya dengan nikmat-nikmat lainnya yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.

Dengan demikian jelaslah, bahwa apabila suatu ketika Allah subhanahu wa ta’ala mencabut nikmat-Nya dari seseorang atau sesuatu bangsa, maka hal itu akan memberikan keinsyafan kepadanya serta mengembalikannya kepada keimanan dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mempertinggi keyakinannya tentang sifat-sifat kekuasaan, keadilan dan kasih sayang kepada makhluknya.

Oleh sebab itu mereka akan kembali merendahkan diri kepada Allah dan tunduk kepada peraturan-Nya, serta mengharapkan belas kasih-Nya untuk melepaskan mereka dari kesusahan yang menimpanya.

ثُمَّ بَدَّلۡنَا مَکَانَ السَّیِّئَۃِ الۡحَسَنَۃَ حَتّٰی عَفَوۡا وَّ قَالُوۡا قَدۡ مَسَّ اٰبَآءَنَا الضَّرَّآءُ وَ السَّرَّآءُ فَاَخَذۡنٰہُمۡ بَغۡتَۃً وَّ ہُمۡ لَا یَشۡعُرُوۡنَ

Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata:
“Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan”,
maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.(Q.S. Al-A’raaf: 95)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan, bahwa setelah umat tadi ditimpa kesusahan dan kesulitan hidup, dan mereka berusaha memperbaiki diri serta berdoa kepada Allah, maka Allah subhanahu wa ta’ala lalu memberikan kepada mereka nikmat dan kelapangan hidup sehingga mereka memperoleh kemakmuran dan harta benda yang cukup.

Kemakmuran dan kecukupan harta benda ini menimbulkan pula kesuburan bagi mereka sehingga keturunan mereka berkembang.

Harta benda yang cukup dan keturunan yang banyak adalah merupakan puncak kenikmatan bagi manusia.

Orang-orang yang beriman, jika memperoleh nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala, baik berupa harta benda maupun keturunan, tentu akan bertambah keimanan dan rasa syukur-Nya, dan akan melakukan kebajikan yang lebih banyak.

Akan tetapi orang-orang yang lemah iman, bila memperoleh kemakmuran dan kenikmatan yang banyak, lupalah ia kepada Allah Yang memberikan nikmat tersebut, dan timbullah rasa sombong dan angkuhnya.

Mereka berkata: “Nenek moyang kami dahulu juga pernah merasakan kenikmatan dan kesusahan. Demikian pula kami ini.

Kesusahan yang pernah kami alami, dan kebahagiaan yang kami rasakan sekarang adalah sama saja dengan apa yang pernah dialami nenek moyang kami.

Kesusahan yang menimpa kami bukanlah akibat dari dosa-dosa yang telah kami perbuat.
Dan kebahagiaan yang kami peroleh bukanlah hasil dari kebajikan-kebajikan yang kami lakukan.

Semuanya itu adalah kelaziman yang terjadi sepanjang masa.

Demikianlah, kekayaan dan kebahagiaan telah membuat mereka lupa kepada hubungan antara sebab-akibat.

Serta menyebabkan mereka lupa kepada kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala Hal ini disebabkan karena mereka itu tidak memahami sunah Allah subhanahu wa ta’ala yang berlaku dalam alam ini, mereka tidak memahami faktor-faktor yang menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraannya di bumi ini.

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan bimbingan dengan firman-Nya:

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(Q.S. Ar Ra’d: 11)

Oleh karena itu, keingkaran dan kesombongan mereka, timbul setelah memperoleh kemakmuran, maka Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan kepada mereka azab yang datang secara tiba-tiba sedang mereka tidak menyadari akan datangnya azab tersebut lantaran mereka tidak memahami sunah Allah yang berlaku dalam urusan masyarakat, dan akal mereka pun tidak mampu memikirkan hal itu.

Lagi pula mereka tidak mau mengikuti petunjuk dan nasihat serta peringatan Rasul kepada mereka.

Dalam hubungan ini Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus-asa.
(Q.S. Al-An’am [6]: 44)

Adalah menjadi sifat orang kafir, bahwa bila mereka memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan lalu takabur dan lupa daratan, tidak mensyukuri nikmat Allah.

Sebaliknya bila mereka ditimpa musibah, lalu berputus asa dan berkeluh-kesah, tidak memikirkan sebab-sebab yang ada pada diri mereka yang menimbulkan musibah itu.

Kebahagiaan yang diperoleh sesudah kesusahan yang kemudian disusul dengan azab sengsara, tidak hanya dialami oleh kaum Nabi Syuaib, bahkan umat nabi-nabi sebelumnya itu, yakni umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh pun telah mengalami pula.

Nabi Hud telah memperingatkan kepada umatnya, yaitu kaum ‘Ad sebagai berikut:

Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada yang dimiliki oleh kaum Nuh itu).
Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
(Q.S. Al-A’raf [7]: 69)

Selanjutnya Nabi Saleh telah memperingatkan pula kepada kaumnya, kaum Tsamud hal semacam itu:

Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah Ad, dan memberikan tempat bagimu di bumi.
Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.
(Q.S. Al-A’raf [7]: 74)

Kita generasi yang hidup sekarang ini hendaklah menyadari hal ini benar-benar agar kita jangan mengalami nasib sial seperti yang dialami umat-umat terdahulu, lantaran keingkaran dan kesombongan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala Apabila bangsa kita sekarang ini telah dikarunia Allah nasib yang lebih baik, berupa kemantapan ekonomi dan kehidupan sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya, janganlah menyebabkan kita lupa daratan, lalu menambah kemaksiatan di bumi.

Hendaklah kita syukuri semua nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kita, dan kita memanfaatkan menurut cara yang dirida-Nya dan kita jauhkan segala macam kemaksiatan.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menambah selalu karunia dan nikmat-Nya kepada kita semua.

Photo Credit: preply

Bengkulu,   28 Jumadil Awal 1440 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.