Adakah manusia yang hidup tidak
pernah merasakan kesempitan dan kesenangan hidup? Semua hal itu pasti akan Allah
pergilirkan diantara manusia untuk melihat bagaimana cara mereka menyikapinya.
Berbagai kejadian yang hadir dalam
kehidupan manusia sebenarnya memberikan tanda-tanda dari Sang Pencipta agar
hati kita tidak bisa berpaling dari-Nya.
وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنَا فِیۡ قَرۡیَۃٍ مِّنۡ نَّبِیٍّ اِلَّاۤ اَخَذۡنَاۤ
اَہۡلَہَا بِالۡبَاۡسَآءِ وَ الضَّرَّآءِ لَعَلَّہُمۡ یَضَّرَّعُوۡنَ
Kami tidaklah mengutus seseorang
nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu),
melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya
mereka tunduk dengan merendahkan diri. (Q.S. Al-A’raaf: 94)
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan
dalam ayat ini bahwa salah satu dari sunah-Nya yang berlaku ialah bahwa bila
Dia mengutus rasul-Nya kepada suatu umat kemudian umat tersebut mendustai
rasulnya itu, maka Allah menimpakan cobaan kepada umat tersebut berupa
kesempitan dan penderitaan.
Cobaan tersebut dimaksudkan untuk
menginsyafkan mereka sehingga menjadi umat yang tunduk dan rendah hati serta
dengan ikhlas berdoa kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala agar mereka dilepaskan
dari azab tersebut.
Para ahli dalam ilmu jiwa dan ilmu
pendidikan mengatakan, bahwa kemewahan dan kesenangan hidup menyebabkan manusia
lupa kepada agama Tuhannya.
Akan tetapi, bila suatu ketika ia
ditimpa kesusahan dan kesempitan, maka hal itu akan menimbulkan keinsyafan
dalam hatinya, lalu kembali ke jalan yang ditunjukkan agamanya, dan berusaha
untuk memperbaiki dirinya.
Seseorang barulah dapat merasakan
nikmat kekayaan bila suatu ketika ia pernah kehilangan kekayaan itu. Ia baru mengerti nikmat kesehatan
bila suatu ketika ia pernah merasa kehilangan kesehatannya itu.
Demikian pula halnya dengan
nikmat-nikmat lainnya yang telah dikaruniakan Allah kepada manusia.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
apabila suatu ketika Allah subhanahu wa ta’ala mencabut nikmat-Nya dari
seseorang atau sesuatu bangsa, maka hal itu akan memberikan keinsyafan
kepadanya serta mengembalikannya kepada keimanan dan ketaatan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan mempertinggi keyakinannya tentang sifat-sifat
kekuasaan, keadilan dan kasih sayang kepada makhluknya.
Oleh sebab itu mereka akan kembali
merendahkan diri kepada Allah dan tunduk kepada peraturan-Nya, serta
mengharapkan belas kasih-Nya untuk melepaskan mereka dari kesusahan yang
menimpanya.
ثُمَّ بَدَّلۡنَا مَکَانَ السَّیِّئَۃِ الۡحَسَنَۃَ حَتّٰی عَفَوۡا وَّ
قَالُوۡا قَدۡ مَسَّ اٰبَآءَنَا الضَّرَّآءُ وَ السَّرَّآءُ
فَاَخَذۡنٰہُمۡ بَغۡتَۃً وَّ ہُمۡ لَا یَشۡعُرُوۡنَ
Kemudian Kami ganti kesusahan itu
dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan
mereka berkata:
“Sesungguhnya nenek moyang kamipun
telah merasai penderitaan dan kesenangan”,
maka Kami timpakan siksaan atas
mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.(Q.S. Al-A’raaf: 95)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa
ta’ala menerangkan, bahwa setelah umat tadi ditimpa kesusahan dan kesulitan
hidup, dan mereka berusaha memperbaiki diri serta berdoa kepada Allah, maka
Allah subhanahu wa ta’ala lalu memberikan kepada mereka nikmat dan kelapangan
hidup sehingga mereka memperoleh kemakmuran dan harta benda yang cukup.
Kemakmuran dan kecukupan harta benda
ini menimbulkan pula kesuburan bagi mereka sehingga keturunan mereka
berkembang.
Harta benda yang cukup dan keturunan
yang banyak adalah merupakan puncak kenikmatan bagi manusia.
Orang-orang yang beriman, jika
memperoleh nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala, baik berupa harta benda
maupun keturunan, tentu akan bertambah keimanan dan rasa syukur-Nya, dan akan
melakukan kebajikan yang lebih banyak.
Akan tetapi orang-orang yang lemah
iman, bila memperoleh kemakmuran dan kenikmatan yang banyak, lupalah ia kepada
Allah Yang memberikan nikmat tersebut, dan timbullah rasa sombong dan
angkuhnya.
Mereka berkata: “Nenek moyang kami
dahulu juga pernah merasakan kenikmatan dan kesusahan. Demikian pula kami ini.
Kesusahan yang pernah kami alami, dan
kebahagiaan yang kami rasakan sekarang adalah sama saja dengan apa yang pernah
dialami nenek moyang kami.
Kesusahan yang menimpa kami bukanlah
akibat dari dosa-dosa yang telah kami perbuat.
Dan kebahagiaan yang kami peroleh
bukanlah hasil dari kebajikan-kebajikan yang kami lakukan.
Semuanya itu adalah kelaziman yang
terjadi sepanjang masa.
Demikianlah, kekayaan dan kebahagiaan
telah membuat mereka lupa kepada hubungan antara sebab-akibat.
Serta menyebabkan mereka lupa kepada
kekuasaan, keadilan dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala Hal ini
disebabkan karena mereka itu tidak memahami sunah Allah subhanahu wa ta’ala
yang berlaku dalam alam ini, mereka tidak memahami faktor-faktor yang
menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraannya di bumi ini.
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala
telah memberikan bimbingan dengan firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.
(Q.S. Ar Ra’d: 11)
Oleh karena itu, keingkaran dan
kesombongan mereka, timbul setelah memperoleh kemakmuran, maka Allah subhanahu
wa ta’ala menimpakan kepada mereka azab yang datang secara tiba-tiba sedang
mereka tidak menyadari akan datangnya azab tersebut lantaran mereka tidak
memahami sunah Allah yang berlaku dalam urusan masyarakat, dan akal mereka pun
tidak mampu memikirkan hal itu.
Lagi pula mereka tidak mau mengikuti
petunjuk dan nasihat serta peringatan Rasul kepada mereka.
Dalam hubungan ini Allah subhanahu wa
ta’ala telah berfirman:
Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka sehingga apabila mereka telah bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus-asa.
(Q.S. Al-An’am [6]: 44)
Adalah menjadi sifat orang kafir,
bahwa bila mereka memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan lalu takabur dan lupa
daratan, tidak mensyukuri nikmat Allah.
Sebaliknya bila mereka ditimpa
musibah, lalu berputus asa dan berkeluh-kesah, tidak memikirkan sebab-sebab
yang ada pada diri mereka yang menimbulkan musibah itu.
Kebahagiaan yang diperoleh sesudah
kesusahan yang kemudian disusul dengan azab sengsara, tidak hanya dialami oleh
kaum Nabi Syuaib, bahkan umat nabi-nabi sebelumnya itu, yakni umat Nabi Nuh,
Nabi Hud, dan Nabi Saleh pun telah mengalami pula.
Nabi Hud telah memperingatkan kepada
umatnya, yaitu kaum ‘Ad sebagai berikut:
Dan ingatlah oleh kamu sekalian di
waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah
lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu
(daripada yang dimiliki oleh kaum Nuh itu).
Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.
(Q.S. Al-A’raf [7]: 69)
Selanjutnya Nabi Saleh telah
memperingatkan pula kepada kaumnya, kaum Tsamud hal semacam itu:
Dan ingatlah oleh kamu sekalian di
waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah Ad, dan
memberikan tempat bagimu di bumi.
Kamu dirikan istana-istana di
tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan
rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di muka
bumi membuat kerusakan.
(Q.S. Al-A’raf [7]: 74)
Kita generasi yang hidup sekarang ini
hendaklah menyadari hal ini benar-benar agar kita jangan mengalami nasib sial
seperti yang dialami umat-umat terdahulu, lantaran keingkaran dan kesombongan
mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala Apabila bangsa kita sekarang ini telah
dikarunia Allah nasib yang lebih baik, berupa kemantapan ekonomi dan kehidupan
sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya, janganlah menyebabkan kita lupa
daratan, lalu menambah kemaksiatan di bumi.
Hendaklah kita syukuri semua nikmat
Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kita, dan kita memanfaatkan menurut cara yang
dirida-Nya dan kita jauhkan segala macam kemaksiatan.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
menambah selalu karunia dan nikmat-Nya kepada kita semua.
Photo Credit: preply
Bengkulu, 28 Jumadil Awal 1440 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.