Sabtu, 18 Oktober 2025

Senyum Pak Karino: Saat Sebuah Foto Mengajarkan Arti Menghargai

Pelajaran dari  Sebuah Ajak Foto

Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melalui sela pagar tangga kampus. Langkah mahasiswa terdengar terburu, sebagian menunduk memeriksa ponsel, sebagian lainnya sibuk mengejar waktu kuliah. Di antara hiruk pikuk itu, seorang lelaki berkaus biru berdiri tenang, sapu di tangan kanannya. Bajunya sederhana, tapi bersih.

Lalu datanglah seorang ustadz muda, Ustadz Rio Saputra. Dengan senyum bersahaja, ia merangkul lelaki itu dan berkata, “Pak, kita foto bareng, ya.”

Satu jepretan kamera, dan lahirlah gambar sederhana yang menyimpan makna besar.

Senyum itu milik Pak Karino, petugas kebersihan kampus yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja menjaga kebersihan setiap sudut ruang belajar kita.

“Berfoto bareng itu tanda kita menghargai , bukan karena status, tapi karena kita sama-sama manusia.”
Ustadz Rio Saputra


Siapa sangka, ajakan berfoto itu menjadi momen pertama dalam karier panjang Pak Karino bersama mahasiswa. Saat ditanya apakah selama ini pernah diajak berfoto oleh siapa pun di kampus, ia hanya menggeleng.

Tidak ada rasa kecewa di wajahnya, hanya senyum tenang, seolah mengatakan: “Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa menjadi latar.”

Pak Karino datang ke kampus setiap pagi, jauh sebelum bel masuk berbunyi. Di saat sebagian mahasiswa masih menyiapkan catatan kuliah, ia sudah memegang sapu dan ember. Menyapu halaman, mengepel lorong, menata kursi, membersihkan kaca, menyingkirkan jejak sisa aktivitas hari sebelumnya.

Ia jarang berbicara banyak, tetapi setiap langkahnya meninggalkan keteduhan. Kampus yang bersih dan nyaman sering dianggap hal biasa, padahal di baliknya ada keringat dan dedikasi orang-orang seperti dia,  pekerja senyap yang menjaga ritme kehidupan akademik tetap berjalan.

“Bayangkan kalau sehari saja beliau tak masuk,” ujar Ustadz Rio. “Kampus pasti berantakan. Tapi entah kenapa, orang yang paling membuat kampus kita bersih justru sering tak terlihat.”

Sayangnya, masih banyak mahasiswa yang belum menghargai kerja seperti itu. Masih saja ada yang membuang sampah sembarangan — bahkan di area masjid. Namun, alih-alih marah, Pak Karino memilih diam, membersihkan dengan hati sabar. Ia mengajar tanpa kata, lewat teladan sederhana.

Saya belajar hari itu bahwa menghormati manusia bisa sesederhana mengajaknya berfoto.”
Catatan Seorang Dosen

Senyum di foto itu menular. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu mulai menyapa Pak Karino keesokan harinya. Ada yang menanyakan kabar, ada yang membantu membuang sampah. Dari satu foto, tumbuh kesadaran kecil: bahwa penghormatan tidak harus dalam bentuk penghargaan besar, cukup dengan perhatian kecil yang tulus.

Di dunia yang semakin bising dengan gelar dan jabatan, kisah Pak Karino menjadi oase sederhana. Ia mengingatkan bahwa nilai manusia tidak diukur dari pangkat atau posisi, tetapi dari manfaat dan ketulusan.

Sebuah ajakan foto di tangga kampus telah membuka mata banyak orang bahwa penghargaan bisa dimulai dari hal paling sederhana: menyapa, tersenyum, dan mengakui keberadaan orang lain.

Kini, setiap kali kita menaiki tangga yang sama, mungkin kita akan teringat pada satu hal,  bahwa kampus bukan hanya berdiri di atas ilmu, tapi juga di atas rasa hormat kepada sesama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung. Semoga langkah Anda hari ini membawa semangat baru untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Saya menghargai setiap dedikasi dan perjalanan Anda. Sampai kita berjumpa kembali, dalam tulisan atau kehidupan nyata.