Rabu, 27 Januari 2016

Bersamamu di Surga



Sebuah kisah selalu berkesan di hati. Terkadang ketika jiwa kita memiliki ego untuk di nasehati, melalui kisahlah ia bisa tersentuh dan kembali sadar akan kekurangan dirinya.

Ada sebuah kisah yang menarik tentang keimanan, cita-cita, dan cinta yang patut kita tauladani dari kisah berikut ini.

Di usia muda, jiwanya sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hatinya dipenuhi pengertian dan pemahaman tentang Islam. 


Pertama kali berjumpa dengan Rasulullah saw, ia langsung jatuh cinta dan menyerahkan seluruh jiwa raganya; menjadi pendamping beliau. Kemana pun beliau pergi, Rabi'ah bin Ka'ab selalu berada di sampingnya.

Rabi'ah melayani segala keperluan Rasulullah sepanjang hari hingga habis waktu Isya' yang terakhir. Bahkan lebih dari itu, ketika Rasulullah hendak berangkat tidur, tak jarang Rabi'ah mendekam berjaga di depan pintu rumah beliau. Di tengah malam, ketika Nabi SAW bangun untuk melaksanakan shalat, seringkali ia mendengar beliau membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw, jika seorang berbuat baik kepadanya, maka beliau pasti membalasnya dengan lebih baik lagi. Begitulah, beliau membalas kebaikan Rabi'ah dengan kebaikan pula. 

Pada suatu hari beliau memanggilnya seraya berkata, "Wahai Rabi'ah bin Ka'ab, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!" 

Setelah diam sejenak, Rabi'ah menjawab, "Ya Rasulullah, berilah saya sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu, akan kuberitahukan kepada Anda."

"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.

Rabi'ah bin Ka'ab adalah seorang pemuda miskin, tidak memiliki keluarga, harta dan tempat tinggal. Ia menetap di Shuffatul Masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasibnya, yaitu orang-orang fakir dari kaum Muslimin. Masyarakat menyebut mereka "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila ada yang memberi hadiah kepada Rasulullah, maka biasanya beliau memberikannya kepada mereka. Rasulullah hanya mengambil sedikit saja.

Dalam hati, Rabi'ah bin Ka'ab ingin meminta kekayaan dunia agar terbebas dari kefakiran. Ia ingin punya harta, istri, dan anak seperti para sahabat yang lain. Namun, hati kecilnya berkata, "Celaka engkau, wahai Rabi'ah bin Ka'ab! Kekayaan dunia akan lenyap. Mengapa engkau tidak meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu?"

Hatinya mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya mohon agar engkau mendoakan kepada Allah agar menjadi temanmu di surga."

Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"

"Tidak, ya Rasulullah. Tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaanku," jawab Rabi'ah bin Ka'ab mantap.

"Kalau begitu, bantulah aku dengan dirimu sendiri. Perbanyaklah sujud," kata Rasulullah. 

Sejak itu, Rabi'ah bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntungannya melayani beliau di dunia. Tidak berapa lama kemudian Rasulullah SAW memanggilnya. "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?" tanya beliau.

"Saya tak ingin ada sesuatu yang menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, saya tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup berumah tangga," jawab Rabi'ah.

Rasulullah diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau memanggil Rabi'ah kembali seraya bertanya, "Apakah engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"

Dan Rabi'ah kembali menjawab seperti seperti semula. Hingga ketiga kalinya Rasulullah memanggil dan bertanya serupa. Rabi'ah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi."

"Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka bahwa Rasulullah menyuruhmu kalian supaya menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."

Dengan malu-malu Rabi'ah datang ke rumah mereka dan menyampaikan maksud kedatangannya. Tuan rumah menjawab, "Selamat datang ya Rasulullah, dan dan selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah, utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya terpenuhi!"
Kenapa Harus Perbanyak Sujud?


Ternyata, bagian otak terdepan (prefrontal cortex) atau bahasa awamnya jidat itu adalah letak pusat kesombongan dan keangkuhan. Di bagian otak itulah berbagai proses yang terekam oleh otak di proses sebelum seseorang memutuskan sesuatu. Maka agar kesombongan dan keangkuhan tidak muncul, sering-seringlah fre frontal cortex ini diletakkan di bawah alias perbanyak bersujud.

Walau demikian bukan jaminan 100 persen bahwa orang yang sering bersujud menjadi tidak sombong dan angkuh. Masih ada faktor-faktor lain yang memengaruhi. Tetapi berdasarkan berbagai literatur yang saya baca, peluang sombong orang yang rajin bersujud menjadi semakin kecil.

Bukan hanya dari para pakar kontemporer, saya juga mempelajari bagaimana Imam Al Ghozali menjelaskan tentang cara kerja otak. Menurut ulama besar ini, segala hal yang ingin berjalan dengan sangat baik harus dimulai dari bagian otak kiri kemudian menuju bagian otak kanan. Semua bagian otak punya perannya masing-masing. Tak boleh kita mengagung-agungkan bagian otak tertentu dan melemahkan atau merendahkan bagian otak yang lain.

Yuk mulai sekarang, jika kita ingin bersama Rosululloh Sholaullohu ‘Alaihi Wassalam mari kita perbaiki sujud dan memperbanyak sujud kita kepada Alloh Subhanahu Wata’ala.

Bandara Fatmawati, 16 Rabiul Akhir 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.