Oleh: Dr. A.Bukhori, S.H., M.H.
Semakin meningkatnya pembangunan dan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula kebutuhan akan tanah. Meningkatnya kebutuhan akan tanah berbanding terbalik dengan persediaan tanah yang sangat terbatas. Hal tersebut tentunya dapat menimbulkan berbagai permasalahan di bidang pertanahan.Asal-usul tanah
yang jelas merupakan salah satu
kunci untuk bisa menyelesaikan
satu per satu masalah pertanahan. Asal-usul ini diperlukan untuk mencari tahu
dari mana hak atas tanah yang diperoleh dan dimiliki oleh individu, badan hukum, maupun
tanah yang dikuasai oleh pemerintah. Dengan jelasnya asal-usul tanah yang
dimiliki, maka bisa dilihat dengan jelas jika suatu saat muncul permasalahan
atas bidang tanah yang sama.
Tanah sebagai
hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945. Pada Pasal 33 Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Hal ini
berarti, bahwa dengan dikuasainya bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara,
pemerataan atas hasil-hasil pengelolaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam
ini akan dapat pengelolaan pertanahan
secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai penjabaran
Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan mulai berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada hukum Agraria
di Indonesia terutama hukum di bidang pertanahan, yang kita sebut hukum tanah,
yang dikalangan pemerintahan dan
umum juga dikenal
sebagai Hukum Agraria (Harsono, 2008:1).
Keberadaan tanah Grondkaart seluruh penjuru Indonesia dalam perkembanganya menimbulkan permasalahan, antara warga yang menguasai tanah Grondkaart dan PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat, lokasi Grondkaart sudah banyak diokupasi (digarap) oleh masyarakat, kecuali rel jalur kereta api, stasiun, gudang, perkantoran, rumah dinas. Hal itu dikarenakan, karena masyarakat tidak mengetahui batas Grondkaart dan kurang adanya sosialisasi dari PT. KAI tentang batas tersebut.
Warga yang
sudah memanfaatkan tanah tersebut secara bertahun-tahun merasa memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan hak kepada kantor
Pertanahan setempat. Bahkan warga telah membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas
tanah dan bangunan yang mereka tempati dan sebagian besar dari tanah dan bangunan tersebut
sudah mendapatkan bukti kepemilikan hak atas tanah berupa sertipikat
yang sah. Sedangkan, PT. KAI menganggap bahwa tanah yang ditempati oleh warga
tersebut merupakan miliknya dan harus dipertahankan karena berpegang pada Grondkaart
yang merupakan peta tanah
zaman kolonial Belanda.
Tanah PT. KAI
tersebut sampai sekarang tidak pernah dilepaskan haknya kepada siapapun dan masih terdaftar sebagai
aset / aktiva tetap PT. KAI. Berdasarkan surat Menteri Keuangan RI Cq
Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN
Nomor : S-11 / MK.
16 /1994 tanggal 24 Januari 1995
kepada Menteri Agraria /
Kepala BPN bahwa tanah-tanah
yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya merupakan kekayaan negara sebagai
aktiva tetap dulu PERUMKA sekarang PT. KAI. Terhadap Tanah KAI tidak
diterbitkan sertipikat tanah atas nama pihak lain jika tidak ada persetujuan
dari Menteri Keuangan RI. Berdasarkan uraian tersebut memberikan gambaran
bahwa terdapat suatu ketidakpastian hukum hak atas tanah.
Padahal dengan
kepastian hukum yang jelas akan mengurangi timbulnya sengketa pertanahan
seperti terumus di dalam penjelasan Umum Angka I Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa pada pokoknya
tujuan Undang-Undang Pokok Agraria dalam persoalan hak atas tanah ialah
antara lain meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya.
Lalu, bagaimana
kedudukan tanah Grondkaart sesungguhnya di mata hukum? Apa solusi untuk penyelesaian
permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan PT. KAI?
Grondkaart
adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukan sebuah bentang lahan yang
dipetakan berdasarkan hasil pengukuran tanah oleh lembaga yang berwenang pada
saat penerbitannya. Grondkaart sendiri merupakan peninggalan Pemerintah Hindia
Belanda berupa produk objek hukum masa lalu yang bersifat tetap dan final. Di dalam
setiap Grondkaart itu terdapat pengesahan yang dilakukan oleh para pejabat
terkait dan Grondkaart sendiri dibuat berdasarkan surat ukur tanah oleh
kadaster.
Secara temporal,
Grondkaart dibuat pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan tidak ada
lagi Grondkaart yang diterbitkan setelah masa Pemerintahan Republik Indonesia,
khususnya setelah tahun 1950 (setelah pengakuan kemerdekaan oleh Belanda lewat
Konferensi Meja Bundar).
Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
Pasal 60 Ayat (2) tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 tentang pendaftaran tanah memberi penjelasan bahwa grondkaart tidak
termasuk alat bukti hak tertulis.
Muliawan (2018:82) berpandangan Grondkaart bukan merupakan bukti hak atas tanah berdasarkan asas domein yang berlaku dalam hukum agraria pada masa penjajahan, kepada instansi pemerintah tidak diberikan surat tanda bukti atas tanah. Dan setelah Indonesia merdeka dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bukti Hak Atas tanah adalah sertipikat.
Jika PT.KAI
merasa berhak atas tanah Grondkaart maka harus dibuktikan dengan bukti
kepemilikan tanah sebagai Badan Usaha Milik Negara, penguasaan fisik, tanda
batas, pasang plang, dan disosialisasikan kepada masarakat yang telah melakukan
okupasi. Bukti kepemilikan tanah tersebut adalah dapat berupa Hak Pakai (HP)
untuk dipergunakan sendiri, sedangkan Hak Pengelolaan (HPL) ada pihak-pihak
lain yang sudah dan akan menguasainya. Dari kedua hak atas tanah tersebut,
lebih direkomendasikan PT.KAI menggunakan Hak Pengelolaan (HPL). Karena dengan
HPL, warga yang saat ini menempati tanah PT. KAI (Grondkaat) dapat tetap
memanfaatkan tanah tersebut melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau perjanjian
penggunaan tanah sesuai Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Atas dasar perjanjian
kerja sama atau perjanjian penggunaan tanah tersebut warga mengajukan hak derivative di atas HPL berupa Hak Guna
Bangunan (HGB). Sedangkan untuk Hak Pakai hanya akan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pemegang hak sendiri, tidak boleh dikerjasamakan dengan pihak lain.
Grondkaart hanya
berfungsi sebagai petunjuk yang menjelaskan bahwa tanah yang diuraikan
dalam Grondkaart itu merupakan kekayaan negara,
jadi Grondkaart itu fungsinya
sama dengan surat tanda bukti hak
penguasaan yang dimiliki oleh PT. KAI.
PT. KAI berhak atas tanah Grondkaart
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan juga dikuatkan
dalam beberapa putusan pengadilan yang bisa dianggap berlaku
untuk seluruh aset PT. KAI, namun sesuai dengan perundangan-undangan
yang berlaku sehingga PT. KAI
berkewajiban untuk mendaftarkan Grondkaart menjadi Hak Pengelolaan sehingga
bukti hak penguasaan tersebut dapat dijadikan sebagai suatu bukti kepemilikan
hak atas tanah yang benar dan kuat berupa sertipikat. Berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007
tentang Perkeretaapian memerintahkan agar setiap penguasaan atas tanah harus
disertipikatkan.
Dengan sertipikasi,
tanah Grondkaart akan memperoleh kepastian hukum mengenai: Kepastian hak atas
tanah, kepastian subjek hak, kepastian objek hak, dan kepastian hukum. Dengan
kepastian hukum berupa Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah Grondkaart, maka akan
tercipta dua perlindungan hukum. Pertama,
perlindungan hukum terhadap tanah negara yang dikuasasi dan dikelola oleh PT.
KAI. Tanah Grondkaart yang dilekati HPL tidak akan lepas kepada pihak lain
sehingga tidak akan merugikan negara. Kedua,
perlindungan hukum kepada warga yang ingin memanfaatkan tanah Grondkaart. Tanah
Grondkaart yang dilekati HPL, melalui perjanjian kerja sama atau perjanjian
penggunaan tanah berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 antara pemegang HPL (dalam hal ini
PT. KAI) dan pihak ketiga dan selanjutnya dapat memohon hak atas tanah berupa Hak
Guna Bangunan (HGB) di kantor pertanahan setempat.
Rekomendasi
yang harus dilakukan menuju pendaftaran hak tersebut untuk PT. KAI sebaiknya
Harus pasang batas, pasang plang, sosialisasi, kuasai fisik secara clean and clear baru melakukan pengajuan permohonan untuk pembuatan sertipikat
tergantung pengunaan dan pemanfaatan tanahnya. Apabila untuk konsumsi sendiri
maka dimohonkan Hak Pakai dan jika penggunaannya untuk kerja sama dengan pihak
lain (Pihak ketiga) maka harus dimohonkan Hak Pengelolaan (HPL).
*Dosen
Universitas Muhammadiyah Tanggerang (UMT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.