Senin, 13 Juli 2020

Kepastian dan Perlindungan Hukum: Tanah PT. Kereta Api Indonesia (Tanah GRONDKAART)

Oleh: Dr. A.Bukhori, S.H., M.H.

Semakin meningkatnya pembangunan dan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula kebutuhan akan tanah. Meningkatnya kebutuhan akan tanah berbanding terbalik   dengan   persediaan   tanah yang sangat terbatas. Hal tersebut tentunya  dapat  menimbulkan berbagai permasalahan di bidang pertanahan.

Asal-usul tanah yang jelas merupakan  salah  satu  kunci  untuk bisa menyelesaikan satu per satu masalah pertanahan. Asal-usul ini diperlukan untuk mencari tahu dari mana hak atas tanah yang diperoleh dan  dimiliki oleh individu, badan hukum, maupun tanah yang dikuasai oleh pemerintah. Dengan jelasnya asal-usul tanah yang dimiliki, maka bisa dilihat dengan jelas jika suatu saat muncul permasalahan atas bidang tanah yang sama.

Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik   Indonesia   Tahun   1945. Pada Pasal 33 Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam  yang terkandung  di  dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Hal ini berarti, bahwa dengan dikuasainya bumi, air, dan kekayaan alam oleh negara, pemerataan atas hasil-hasil pengelolaan terhadap bumi, air, dan kekayaan    alam    ini    akan    dapat pengelolaan  pertanahan  secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan  Dasar  Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan mulai berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada hukum Agraria di Indonesia terutama hukum di bidang pertanahan, yang kita sebut hukum tanah, yang dikalangan pemerintahan dan   umum   juga   dikenal   sebagai Hukum Agraria (Harsono, 2008:1).

Keberadaan tanah Grondkaart seluruh penjuru Indonesia dalam perkembanganya menimbulkan permasalahan, antara warga yang menguasai tanah Grondkaart dan PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat, lokasi Grondkaart sudah banyak diokupasi (digarap) oleh masyarakat, kecuali rel jalur kereta api, stasiun, gudang, perkantoran, rumah dinas. Hal itu dikarenakan, karena masyarakat tidak mengetahui batas Grondkaart dan kurang adanya sosialisasi dari PT. KAI tentang batas tersebut.

Warga yang sudah memanfaatkan tanah tersebut secara bertahun-tahun  merasa memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan hak kepada kantor Pertanahan setempat. Bahkan warga telah membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah dan bangunan yang mereka tempati dan sebagian besar dari   tanah dan bangunan  tersebut  sudah mendapatkan bukti kepemilikan hak atas tanah berupa sertipikat yang sah. Sedangkan, PT. KAI menganggap bahwa tanah yang ditempati oleh warga tersebut merupakan miliknya dan harus dipertahankan karena berpegang pada Grondkaart yang merupakan  peta  tanah  zaman kolonial Belanda.

Tanah PT. KAI tersebut sampai sekarang tidak pernah dilepaskan haknya  kepada siapapun dan masih terdaftar sebagai aset / aktiva tetap PT. KAI. Berdasarkan surat Menteri Keuangan RI Cq Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN  Nomor  :  S-11  /  MK.  16  /1994 tanggal 24 Januari 1995 kepada Menteri   Agraria   /   Kepala   BPN bahwa tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya merupakan kekayaan negara sebagai aktiva tetap dulu PERUMKA sekarang PT. KAI. Terhadap Tanah KAI tidak diterbitkan sertipikat tanah atas nama pihak lain jika tidak ada persetujuan dari Menteri Keuangan RI. Berdasarkan uraian tersebut memberikan  gambaran  bahwa terdapat suatu ketidakpastian hukum hak atas tanah.

Padahal dengan kepastian hukum yang jelas akan mengurangi timbulnya sengketa pertanahan seperti terumus di dalam penjelasan Umum Angka I Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa  pada  pokoknya  tujuan Undang-Undang  Pokok  Agraria dalam persoalan hak atas tanah ialah antara  lain  meletakkan  dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Lalu, bagaimana kedudukan tanah Grondkaart sesungguhnya di mata hukum? Apa solusi untuk penyelesaian permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan PT. KAI?

Grondkaart adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukan sebuah bentang lahan yang dipetakan berdasarkan hasil pengukuran tanah oleh lembaga yang berwenang pada saat penerbitannya. Grondkaart sendiri merupakan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda berupa produk objek hukum masa lalu yang bersifat tetap dan final. Di dalam setiap Grondkaart itu terdapat pengesahan yang dilakukan oleh para pejabat terkait dan Grondkaart sendiri dibuat berdasarkan surat ukur tanah oleh kadaster.

Secara temporal, Grondkaart dibuat pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan tidak ada lagi Grondkaart yang diterbitkan setelah masa Pemerintahan Republik Indonesia, khususnya setelah tahun 1950 (setelah pengakuan kemerdekaan oleh Belanda lewat Konferensi Meja Bundar).

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 60 Ayat (2) tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah memberi penjelasan bahwa grondkaart tidak termasuk alat bukti hak tertulis.

Muliawan (2018:82) berpandangan Grondkaart bukan merupakan bukti hak atas tanah berdasarkan asas domein yang berlaku dalam hukum agraria pada masa penjajahan, kepada instansi pemerintah tidak diberikan surat tanda bukti atas tanah. Dan setelah  Indonesia merdeka dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bukti Hak Atas tanah adalah sertipikat.

Jika PT.KAI merasa berhak atas tanah Grondkaart maka harus dibuktikan dengan bukti kepemilikan tanah sebagai Badan Usaha Milik Negara, penguasaan fisik, tanda batas, pasang plang, dan disosialisasikan kepada masarakat yang telah melakukan okupasi. Bukti kepemilikan tanah tersebut adalah dapat berupa Hak Pakai (HP) untuk dipergunakan sendiri, sedangkan Hak Pengelolaan (HPL) ada pihak-pihak lain yang sudah dan akan menguasainya. Dari kedua hak atas tanah tersebut, lebih direkomendasikan PT.KAI menggunakan Hak Pengelolaan (HPL). Karena dengan HPL, warga yang saat ini menempati tanah PT. KAI (Grondkaat) dapat tetap memanfaatkan tanah tersebut melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau perjanjian penggunaan tanah sesuai Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Atas dasar perjanjian kerja sama atau perjanjian penggunaan tanah tersebut warga mengajukan hak derivative di atas HPL berupa Hak Guna Bangunan (HGB). Sedangkan untuk Hak Pakai hanya akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemegang hak sendiri, tidak boleh dikerjasamakan dengan pihak lain.

Grondkaart  hanya  berfungsi sebagai petunjuk yang menjelaskan bahwa tanah yang diuraikan dalam Grondkaart  itu  merupakan kekayaan  negara,  jadi  Grondkaart itu fungsinya sama dengan surat tanda bukti hak penguasaan yang dimiliki oleh PT. KAI.  PT.  KAI berhak atas tanah Grondkaart berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan juga dikuatkan dalam beberapa putusan pengadilan yang bisa            dianggap     berlaku     untuk seluruh aset PT. KAI, namun sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku  sehingga  PT.  KAI berkewajiban untuk mendaftarkan Grondkaart menjadi Hak Pengelolaan sehingga bukti hak penguasaan tersebut dapat dijadikan sebagai suatu bukti kepemilikan hak atas tanah yang benar dan kuat berupa sertipikat. Berdasarkan ketentuan       perundang-undangan yaitu   Undang-Undang   Nomor   5 Tahun   1960   tentang   Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian memerintahkan agar setiap penguasaan atas tanah harus disertipikatkan.

Dengan sertipikasi, tanah Grondkaart akan memperoleh kepastian hukum mengenai: Kepastian hak atas tanah, kepastian subjek hak, kepastian objek hak, dan kepastian hukum. Dengan kepastian hukum berupa Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah Grondkaart, maka akan tercipta dua perlindungan hukum. Pertama, perlindungan hukum terhadap tanah negara yang dikuasasi dan dikelola oleh PT. KAI. Tanah Grondkaart yang dilekati HPL tidak akan lepas kepada pihak lain sehingga tidak akan merugikan negara. Kedua, perlindungan hukum kepada warga yang ingin memanfaatkan tanah Grondkaart. Tanah Grondkaart yang dilekati HPL, melalui perjanjian kerja sama atau perjanjian penggunaan tanah berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 antara pemegang HPL (dalam hal ini PT. KAI) dan pihak ketiga dan selanjutnya dapat memohon hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan (HGB) di kantor pertanahan setempat.

Rekomendasi yang harus dilakukan menuju pendaftaran hak tersebut untuk PT. KAI sebaiknya Harus pasang batas, pasang plang, sosialisasi, kuasai fisik secara clean and clear baru melakukan pengajuan permohonan untuk pembuatan sertipikat tergantung pengunaan dan pemanfaatan tanahnya. Apabila untuk konsumsi sendiri maka dimohonkan Hak Pakai dan jika penggunaannya untuk kerja sama dengan pihak lain (Pihak ketiga) maka harus dimohonkan Hak Pengelolaan (HPL).

*Dosen Universitas Muhammadiyah Tanggerang (UMT)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.