Senin, 14 November 2011

Hijrah untuk Kualitas Hidup yang Lebih Baik


Kadang kita tidak melihat pentingnya perubahan, terutama saat kita sudah berada di zona nyaman. Padahal menuju yang lebih baik itu tidak ada batasnya. Sebagai muslim, ukuran lebih baik kita adalah peningkatan kualitas ketakwaan. Dan kualitas ketakwaan kepada Allah tidak terbatas. Karena itu, pintu hijrah selalu terbuka.

Hijrah pada dasarnya adalah berubah menjadi yang lebih baik dan hijrah membutuhkan pengorbanan. Rasulullah memberikan pelajaran yang amat berharga kepada kita tentang hijrah ini, dengan segala bentuknya. Di dalamnya ada pengorbanan. Ada tuntutan ketulusan dan keikhlasan meninggalkan segalanya serta keberanian memulai dari nol jika diperlukan.

Mengapa berani? Karena ada keyakinan bahwa di sana tersedia sesuatu yang lebih baik. Dalam landasan ajaran agama kita, pengorbanan yang dilandasi dengan ketulusan untuk meningkatkan kualitas ketaatan kita kepada Allah tidak akan pernah sia-sia.

Sebenarnya dalam setiap sejarah, kita kaya dengan contoh hijrah. Misalnya saja, negara kita yang memperoleh kemerdekaan, tidak dengan mengemis, tetapi dengan pengorbanan jiwa, raga, harta, benda, dan segalanya.

Bandung Lautan Api
Pada prolog 1945, sebagian besar rakyat sebenarnya sudah berada di zona nyaman karena penjajah memfasilitasi segalanya. Makanan mudah didapat. Segalanya dapat dibeli dengan uang sekerincing. Ya, paling tidak kehidupan semacam itu nyaman untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, rumah, dan pakaian.

Meskipun begitu, saat itu pendidikan masih tertutup untuk sebagian besar anggota masyarakat, kecuali bagi para priyayi saja. Oleh karena itu, tidak banyak masyarakat yang berpikir mengenai apa itu kemerdekaan. Hanya sebagian kecil yang memiliki visi ke depan. Alhasil, hasrat untuk hijrah belum menjadi sebuah fenomena massal.

Masa penjajahan ini baru akan berakhir setelah sekelompok kecil pemuda mempelopori pemikiran-pemikiran yang berani untuk keluar dari kemapanan dalam bentuk memerdekakan diri. Ketika itu, kemerdekaan menjadi sesuatu yang memiliki daya magnet besar, sehingga masyarakat pun menyadari arti penting hijrah.

Konsekuensinya, memang setiap perubahan menuju yang lebih baik itu memerlukan pengorbanan. Dan Bandung Lautan Api (BLA) adalah salah satu bentuk ekspresi keinginan hijrah, yang kemudian diikuti sebuah pengorbanan yang luar biasa, Bandung benar-benar menjadi lautan api. Kisah BLA adalah sebuah contoh fenomenal dan masif bagaimana pengorbanan dengan suka cita disambut oleh masyarakat.

Ada yang ingin saya garis bawahi sekali lagi di sini. Biasanya yang bisa melihat perlunya sebuah perubahan dan siap mengawal perubahan dengan pengorbanan, selalu kaum muda. Karena anak muda biasanya mampu berpikir ideal. Mereka belum memiliki beban sosial yang banyak, tidak harus menanggung anak dan istri. Jadi mereka merupakan satu lapisan generasi khusus yang paling siap berkorban.

Pada setiap zaman, ketika timbul tuntutan akan perubahan, pasti lahir anak-anak muda yang memiliki semangat dan idealisme tinggi. Pada tahun 1940-an, lahirlah generasi seperti Soekarno, Hatta, dan Muhammad Natsir. Mereka adalah anak-anak muda pada zamannya, yang juga merupakan para intelektual dengan visi ke depan dan bisa keluar dari kemapanan. Mereka bisa melihat tantangan zamannya.

Ya, setiap zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Pada zaman mereka, tantangan zaman adalah pencapaian kemerdekaan. Lalu mereka berhasil menyadarkan massa dan kemudian secara bersama-sama melakukan perubahan.

Jebakan Kenyamanan Masa Kini
Nah, zaman sekarang, hijrahnya seperti apa, khususnya untuk anak-anak muda? Mereka harus bisa keluar dari jebakan kenyamanan. Mereka harus bisa memilah mana yang merupakan jebakan kenyamanan dan mana yang bisa menawarkan terobosan sejarah. Dengan begitu, mereka akan memiliki sesuatu yang fenomenal, memiliki usia yang panjang dalam sejarah, dan tidak akan mudah dilupakan.

Para pahlawan itu sudah wafat puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, tetapi mereka masih diingat. Ini adalah sepenggal janji Allah dalam Surat Albaqarah ayat 154:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.

Misalnya saja Nabi Ibrahim. Meskipun beliau hidup ribuan tahun lalu, tapi masih dikenang dan akan tetap dikenang hingga hari kiamat. Karena dia mempelopori pengorbanan dan berani hijrah dari masyarakatnya yang menyembah patung. Dia berani menerobos kungkungan kenyamanan dan kejumudan. Dia bisa keluar dari jebakan kenyamanan masyarakatnya. Dia menawarkan sesuatu yang baru dan bersedia hijrah. Betul-betul hijrah; secara fisik, lokasi, psikologis, filosofis, dan ideologis.

Generasi muda sekarang pun harus mampu menemukan apa yang bisa mereka tawarkan kepada sejarah. Keberanian hijrah dan pengorbanan macam apa yang dapat mereka lakukan.

Jika kita lihat zaman sekarang, banyak noktah-noktah kehidupan yang memang butuh pengorbanan. Misalnya, berani bekerja lebih keras demi cita-cita ideal dan mau meninggalkan gaya hidup yang korup. Hal ini adalah nonsense pada zaman sekarang. Sama seperti ketika sekelompok anak kecil yang menawarkan ide kemerdekaan dari penjajah 65 tahun yang lalu. Orang-orang menentang, “Buat apa? Cari perkara! Hidup sudah nyaman sekarang!” Waktu itu, hidup terbilang nyaman dan enak untuk sebagian besar orang, meskipun dijajah.

Sekarang, gaya hidup korup dianggap sesuatu yang normal. Ada pemikiran, “Kalau mau hidup nyaman, ya harus begitu, harus menempuh jalan itu.” Dalam pendidikan, misalnya mencontek. Lihat saja Ujian Nasional (UN). Jawaban sudah tersedia bebas. Kadang orang tua dan guru bersekutu. Segala cara, yang penting anaknya bisa lulus dengan nilai yang baik, sehingga mendapat sekolah yang baik. Hal semacam ini sekarang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, meskipun sesungguhnya melanggar azas kepatutan.

Kesederhanaan pun merupakan hal yang aneh pada masa kini. Lihat saja hiruk pikuk di Jakarta. Kasus-kasus yang melibatkan wakil rakyat terbongkar. Masyarakat berpikir bahwa jabatan publik adalah jabatan terhormat, tetapi rupanya sebagian dari mereka yang duduk itu ternyata memperolehnya dengan cara-cara yang korup. Meskipun hanya sebagian kecil saja yang bertingkah laku seperti itu, tapi citra yang terbentuk sungguh amat luar biasa.

Rakyat jadi tahu bahwa gaya hidup gemerlapan itu memerlukan cara-cara yang tidak benar. Dan saya kira, sebagian besar masyarakat sekarang masih menganggap gaya hidup seperti itu sebagai idola. Hidup yang gemerlapan seperti itu masih dijadikan sebagai cita-cita.

Implikasinya, kita melihat hidup yang sederhana dan menjadi teladan sebagai sesuatu yang aneh dan asing. Kehidupan yang tidak akan diliput oleh media. Mereka yang bersitekun di laboratorium, kalah dengan selebritis yang hidupnya kawin-cerai. Alhasil, masyarakat tidak mengenal bagian kehidupan yang jujur itu dan tidak menjadikan itu sebagai idola.

Tetapi anak-anak muda yang memiliki idealisme, tidak peduli dengan segala macam hal tersebut. Mereka tetap jalan terus dan tekun, karena mereka memiliki cita-cita besar. Hanya, kalau bisa, tidak hanya berhenti pada diri mereka sendiri, tapi menularkan idealisme dan kesediaan untuk hijrah kepada publik. Anak-anak muda harus mempelopori dan harus berani hidup lebih sederhana lalu berjanji taat azas, baik dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat.

Karena pemuda adalah pewaris zaman, dan kondisi suatu zaman tergantung bagaimana generasi muda merintis zamannya. Hanya dengan begitu, pada tahun 2100 atau 2150, akan ada sejarah generasi 2010. Seperti bagaimana kita sekarang mengenang pahlawan Bandung Selatan Mohammad Toha, Panglima Besar Jenderal Sudirman, sampai Rasulullah. Mereka terus hidup, tidak mati, dan dicatat dengan tinta emas sejarah.

Barangkali ketika mereka melakukan semua tindak kepahlawanan itu, tidaklah gemerlapan ataupun disorot oleh media, tapi Allah Maha Adil dan punya cara sendiri. Bukankah kita diajarkan sebuah doa dalam Alquran agar kita menjadi buah bibir yang baik bagi generasi berikutnya?

Jadi kita tidak perlu takut dalam kesepian dan kesendirian ketika mempelopori sesuatu yang ideal. Ideal seperti apa? Bagi kita sudah jelas, kualitas ketakwaan kepada Allah yang terus meningkat, karena ketakwaan itu tidak ada batasnya.

Contoh kongkretnya berlaku kepada yang tidak mampu, bekerja keras dan bersungguh-sungguh, selalu memegang amanah, dan pandai bersyukur, serta diterimanya di perguruan tinggi harus disyukuri dengan belajar yang baik supaya nanti bisa berbuat banyak untuk masyarakat.

Hijrah Diri Sendiri
Pada dasarnya, kita harus berubah setiap saat. Banyak momen-momen yang mengharuskan kita untuk berubah. Tadinya pelajar di SMA kemudian mahasiswa di perguruan tinggi. Tadinya anak kecil, kemudian menjadi dewasa, lalu jadi orang tua.

Perubahan sebenarnya harus terus-menerus kita lakukan. Hari ini harus lebih baik dari pada hari kemarin, dan besok harus lebih baik dari pada hari ini. Keyakinan itu yang memaksa kita untuk disiplin. Kedisplinan sendiri memerlukan pengorbanan dan keberanian untuk memberikan yang terbaik.

Hijrah adalah perjuangan seumur hidup. Godaan dan iming-imingnya memang banyak. Sudah sunnatullahnya begitu. Tapi kita punya daya tahan lebih, karena kita punya cita-cita. Sehingga kita teguh dan istiqomah di jalur yang sudah kita pilih. Kita percaya bahwa semua pengorbanan yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang sia-sia. Karena yang kita yakini adalah sebagian dari apa yang diamanahkan Allah, yang nanti akan kita pertanggungjawabkan di akhirat.

Sumber : Masjid Salman ITB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.