Kadang kita
tidak melihat pentingnya perubahan, terutama saat kita sudah berada di zona
nyaman. Padahal menuju yang lebih baik itu tidak ada batasnya. Sebagai muslim,
ukuran lebih baik kita adalah peningkatan kualitas ketakwaan. Dan kualitas
ketakwaan kepada Allah tidak terbatas. Karena itu, pintu hijrah selalu terbuka.
Hijrah pada
dasarnya adalah berubah menjadi yang lebih baik dan hijrah membutuhkan
pengorbanan. Rasulullah memberikan pelajaran yang amat berharga kepada kita
tentang hijrah ini, dengan segala bentuknya. Di dalamnya ada pengorbanan. Ada
tuntutan ketulusan dan keikhlasan meninggalkan segalanya serta keberanian
memulai dari nol jika diperlukan.
Mengapa
berani? Karena ada keyakinan bahwa di sana tersedia sesuatu yang lebih baik.
Dalam landasan ajaran agama kita, pengorbanan yang dilandasi dengan ketulusan
untuk meningkatkan kualitas ketaatan kita kepada Allah tidak akan pernah
sia-sia.
Sebenarnya
dalam setiap sejarah, kita kaya dengan contoh hijrah. Misalnya saja, negara
kita yang memperoleh kemerdekaan, tidak dengan mengemis, tetapi dengan
pengorbanan jiwa, raga, harta, benda, dan segalanya.
Bandung
Lautan Api
Pada prolog
1945, sebagian besar rakyat sebenarnya sudah berada di zona nyaman karena
penjajah memfasilitasi segalanya. Makanan mudah didapat. Segalanya dapat dibeli
dengan uang sekerincing. Ya, paling tidak kehidupan semacam itu nyaman untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, rumah, dan pakaian.
Meskipun
begitu, saat itu pendidikan masih tertutup untuk sebagian besar anggota
masyarakat, kecuali bagi para priyayi saja. Oleh karena itu, tidak banyak
masyarakat yang berpikir mengenai apa itu kemerdekaan. Hanya sebagian kecil
yang memiliki visi ke depan. Alhasil, hasrat untuk hijrah belum menjadi sebuah
fenomena massal.
Masa
penjajahan ini baru akan berakhir setelah sekelompok kecil pemuda mempelopori
pemikiran-pemikiran yang berani untuk keluar dari kemapanan dalam bentuk
memerdekakan diri. Ketika itu, kemerdekaan menjadi sesuatu yang memiliki daya
magnet besar, sehingga masyarakat pun menyadari arti penting hijrah.
Konsekuensinya,
memang setiap perubahan menuju yang lebih baik itu memerlukan pengorbanan. Dan
Bandung Lautan Api (BLA) adalah salah satu bentuk ekspresi keinginan hijrah,
yang kemudian diikuti sebuah pengorbanan yang luar biasa, Bandung benar-benar
menjadi lautan api. Kisah BLA adalah sebuah contoh fenomenal dan masif
bagaimana pengorbanan dengan suka cita disambut oleh masyarakat.
Ada yang
ingin saya garis bawahi sekali lagi di sini. Biasanya yang bisa melihat
perlunya sebuah perubahan dan siap mengawal perubahan dengan pengorbanan,
selalu kaum muda. Karena anak muda biasanya mampu berpikir ideal. Mereka belum
memiliki beban sosial yang banyak, tidak harus menanggung anak dan istri. Jadi
mereka merupakan satu lapisan generasi khusus yang paling siap berkorban.
Pada setiap
zaman, ketika timbul tuntutan akan perubahan, pasti lahir anak-anak muda yang
memiliki semangat dan idealisme tinggi. Pada tahun 1940-an, lahirlah generasi
seperti Soekarno, Hatta, dan Muhammad Natsir. Mereka adalah anak-anak muda pada
zamannya, yang juga merupakan para intelektual dengan visi ke depan dan bisa
keluar dari kemapanan. Mereka bisa melihat tantangan zamannya.
Ya, setiap
zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Pada zaman mereka, tantangan zaman
adalah pencapaian kemerdekaan. Lalu mereka berhasil menyadarkan massa dan
kemudian secara bersama-sama melakukan perubahan.
Jebakan
Kenyamanan Masa Kini
Nah, zaman
sekarang, hijrahnya seperti apa, khususnya untuk anak-anak muda? Mereka harus
bisa keluar dari jebakan kenyamanan. Mereka harus bisa memilah mana yang
merupakan jebakan kenyamanan dan mana yang bisa menawarkan terobosan sejarah.
Dengan begitu, mereka akan memiliki sesuatu yang fenomenal, memiliki usia yang
panjang dalam sejarah, dan tidak akan mudah dilupakan.
Para
pahlawan itu sudah wafat puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, tetapi mereka
masih diingat. Ini adalah sepenggal janji Allah dalam Surat Albaqarah ayat 154:
Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah,
(bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya.
Misalnya
saja Nabi Ibrahim. Meskipun beliau hidup ribuan tahun lalu, tapi masih dikenang
dan akan tetap dikenang hingga hari kiamat. Karena dia mempelopori pengorbanan
dan berani hijrah dari masyarakatnya yang menyembah patung. Dia berani
menerobos kungkungan kenyamanan dan kejumudan. Dia bisa keluar dari jebakan kenyamanan
masyarakatnya. Dia menawarkan sesuatu yang baru dan bersedia hijrah.
Betul-betul hijrah; secara fisik, lokasi, psikologis, filosofis, dan ideologis.
Generasi
muda sekarang pun harus mampu menemukan apa yang bisa mereka tawarkan kepada
sejarah. Keberanian hijrah dan pengorbanan macam apa yang dapat mereka lakukan.
Jika kita
lihat zaman sekarang, banyak noktah-noktah kehidupan yang memang butuh
pengorbanan. Misalnya, berani bekerja lebih keras demi cita-cita ideal dan mau
meninggalkan gaya hidup yang korup. Hal ini adalah nonsense pada zaman
sekarang. Sama seperti ketika sekelompok anak kecil yang menawarkan ide
kemerdekaan dari penjajah 65 tahun yang lalu. Orang-orang menentang, “Buat apa?
Cari perkara! Hidup sudah nyaman sekarang!” Waktu itu, hidup terbilang nyaman
dan enak untuk sebagian besar orang, meskipun dijajah.
Sekarang,
gaya hidup korup dianggap sesuatu yang normal. Ada pemikiran, “Kalau mau hidup
nyaman, ya harus begitu, harus menempuh jalan itu.” Dalam pendidikan, misalnya
mencontek. Lihat saja Ujian Nasional (UN). Jawaban sudah tersedia bebas. Kadang
orang tua dan guru bersekutu. Segala cara, yang penting anaknya bisa lulus
dengan nilai yang baik, sehingga mendapat sekolah yang baik. Hal semacam ini
sekarang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, meskipun sesungguhnya
melanggar azas kepatutan.
Kesederhanaan
pun merupakan hal yang aneh pada masa kini. Lihat saja hiruk pikuk di Jakarta.
Kasus-kasus yang melibatkan wakil rakyat terbongkar. Masyarakat berpikir bahwa
jabatan publik adalah jabatan terhormat, tetapi rupanya sebagian dari mereka
yang duduk itu ternyata memperolehnya dengan cara-cara yang korup. Meskipun
hanya sebagian kecil saja yang bertingkah laku seperti itu, tapi citra yang
terbentuk sungguh amat luar biasa.
Rakyat jadi
tahu bahwa gaya hidup gemerlapan itu memerlukan cara-cara yang tidak benar. Dan
saya kira, sebagian besar masyarakat sekarang masih menganggap gaya hidup
seperti itu sebagai idola. Hidup yang gemerlapan seperti itu masih dijadikan
sebagai cita-cita.
Implikasinya,
kita melihat hidup yang sederhana dan menjadi teladan sebagai sesuatu yang aneh
dan asing. Kehidupan yang tidak akan diliput oleh media. Mereka yang bersitekun
di laboratorium, kalah dengan selebritis yang hidupnya kawin-cerai. Alhasil,
masyarakat tidak mengenal bagian kehidupan yang jujur itu dan tidak menjadikan
itu sebagai idola.
Tetapi
anak-anak muda yang memiliki idealisme, tidak peduli dengan segala macam hal
tersebut. Mereka tetap jalan terus dan tekun, karena mereka memiliki cita-cita
besar. Hanya, kalau bisa, tidak hanya berhenti pada diri mereka sendiri, tapi
menularkan idealisme dan kesediaan untuk hijrah kepada publik. Anak-anak muda
harus mempelopori dan harus berani hidup lebih sederhana lalu berjanji taat
azas, baik dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat.
Karena
pemuda adalah pewaris zaman, dan kondisi suatu zaman tergantung bagaimana
generasi muda merintis zamannya. Hanya dengan begitu, pada tahun 2100 atau
2150, akan ada sejarah generasi 2010. Seperti bagaimana kita sekarang mengenang
pahlawan Bandung Selatan Mohammad Toha, Panglima Besar Jenderal Sudirman,
sampai Rasulullah. Mereka terus hidup, tidak mati, dan dicatat dengan tinta
emas sejarah.
Barangkali
ketika mereka melakukan semua tindak kepahlawanan itu, tidaklah gemerlapan
ataupun disorot oleh media, tapi Allah Maha Adil dan punya cara sendiri.
Bukankah kita diajarkan sebuah doa dalam Alquran agar kita menjadi buah bibir
yang baik bagi generasi berikutnya?
Jadi kita
tidak perlu takut dalam kesepian dan kesendirian ketika mempelopori sesuatu
yang ideal. Ideal seperti apa? Bagi kita sudah jelas, kualitas ketakwaan kepada
Allah yang terus meningkat, karena ketakwaan itu tidak ada batasnya.
Contoh
kongkretnya berlaku kepada yang tidak mampu, bekerja keras dan
bersungguh-sungguh, selalu memegang amanah, dan pandai bersyukur, serta
diterimanya di perguruan tinggi harus disyukuri dengan belajar yang baik supaya
nanti bisa berbuat banyak untuk masyarakat.
Hijrah Diri
Sendiri
Pada
dasarnya, kita harus berubah setiap saat. Banyak momen-momen yang mengharuskan
kita untuk berubah. Tadinya pelajar di SMA kemudian mahasiswa di perguruan
tinggi. Tadinya anak kecil, kemudian menjadi dewasa, lalu jadi orang tua.
Perubahan
sebenarnya harus terus-menerus kita lakukan. Hari ini harus lebih baik dari
pada hari kemarin, dan besok harus lebih baik dari pada hari ini. Keyakinan itu
yang memaksa kita untuk disiplin. Kedisplinan sendiri memerlukan pengorbanan
dan keberanian untuk memberikan yang terbaik.
Hijrah
adalah perjuangan seumur hidup. Godaan dan iming-imingnya memang banyak. Sudah
sunnatullahnya begitu. Tapi kita punya daya tahan lebih, karena kita punya
cita-cita. Sehingga kita teguh dan istiqomah di jalur yang sudah kita pilih.
Kita percaya bahwa semua pengorbanan yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang
sia-sia. Karena yang kita yakini adalah sebagian dari apa yang diamanahkan
Allah, yang nanti akan kita pertanggungjawabkan di akhirat.
Sumber :
Masjid Salman ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.