![]() |
| Ketika batu lebih lembut dari hati |
Batu bisa retak karena takut kepada Allah.
Tapi mengapa hati manusia kadang tak tersentuh meski mendengar ayat-Nya?
Kisah Bani Israil mengajarkan: ketika logika lebih diutamakan daripada iman, hati pun mengeras.
Brightening You Always
Kita hidup di era yang serba cepat. Setiap hari, inbox dan timeline kita dipenuhi oleh kritik, cibiran, atau debat tak berujung. Kadang, rasanya sulit sekali menjaga hati tetap tenang dan fokus.
Jika Nabi Muhammad ο·Ί hidup di zaman media sosial, bagaimana kira-kira beliau menyikapi troll yang menghina, kritik yang menyakitkan, atau perdebatan yang sia-sia?
Jawabannya sudah tertulis jelas, lebih dari 1.400 tahun lalu, dalam sebuah "kode etik" perilaku sosial yang luar biasa. Inilah resep spiritual survival dari Al-Qur'an yang mendahului semua teori psikologi dan komunikasi modern:
Jabatan yang tinggi, ekonomi mapan, penampilan yang elegan, pembicara yang fasih dan keluarga yang ideal, ia miliki semuanya.
Namun ia tahu bahwa di balik penampilan yang memukau ini tersimpan kekosongan yang menghantuinya setiap malam sebelum ia tidur.
Ia berkata pada dirinya sendiri :
Aku punya segalanya... kecuali ketenangan hati dan pikiran
![]() |
| Pelajaran dari Sebuah Ajak Foto |
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melalui sela pagar tangga kampus. Langkah mahasiswa terdengar terburu, sebagian menunduk memeriksa ponsel, sebagian lainnya sibuk mengejar waktu kuliah. Di antara hiruk pikuk itu, seorang lelaki berkaus biru berdiri tenang, sapu di tangan kanannya. Bajunya sederhana, tapi bersih.
Lalu datanglah seorang ustadz muda, Ustadz Rio Saputra. Dengan senyum bersahaja, ia merangkul lelaki itu dan berkata, “Pak, kita foto bareng, ya.”
Satu jepretan kamera, dan lahirlah gambar sederhana yang menyimpan makna besar.
Senyum itu milik Pak Karino, petugas kebersihan kampus yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja menjaga kebersihan setiap sudut ruang belajar kita.
“Berfoto bareng itu tanda kita menghargai , bukan karena status, tapi karena kita sama-sama manusia.”
Rio Saputra
Siapa sangka, ajakan berfoto itu menjadi momen pertama dalam karier panjang Pak Karino bersama mahasiswa. Saat ditanya apakah selama ini pernah diajak berfoto oleh siapa pun di kampus, ia hanya menggeleng.
Tidak ada rasa kecewa di wajahnya, hanya senyum tenang, seolah mengatakan: “Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa menjadi latar.”
Pak Karino datang ke kampus setiap pagi, jauh sebelum bel masuk berbunyi. Di saat sebagian mahasiswa masih menyiapkan catatan kuliah, ia sudah memegang sapu dan ember. Menyapu halaman, mengepel lorong, menata kursi, membersihkan kaca, menyingkirkan jejak sisa aktivitas hari sebelumnya.
Ia jarang berbicara banyak, tetapi setiap langkahnya meninggalkan keteduhan. Kampus yang bersih dan nyaman sering dianggap hal biasa, padahal di baliknya ada keringat dan dedikasi orang-orang seperti dia, pekerja senyap yang menjaga ritme kehidupan akademik tetap berjalan.
“Bayangkan kalau sehari saja beliau tak masuk,” ujar Ustadz Rio. “Kampus pasti berantakan. Tapi entah kenapa, orang yang paling membuat kampus kita bersih justru sering tak terlihat.”
Sayangnya, masih banyak mahasiswa yang belum menghargai kerja seperti itu. Masih saja ada yang membuang sampah sembarangan — bahkan di area masjid. Namun, alih-alih marah, Pak Karino memilih diam, membersihkan dengan hati sabar. Ia mengajar tanpa kata, lewat teladan sederhana.
Saya belajar hari itu bahwa menghormati manusia bisa sesederhana mengajaknya berfoto.”
Catatan Seorang Dosen
Senyum di foto itu menular. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu mulai menyapa Pak Karino keesokan harinya. Ada yang menanyakan kabar, ada yang membantu membuang sampah. Dari satu foto, tumbuh kesadaran kecil: bahwa penghormatan tidak harus dalam bentuk penghargaan besar, cukup dengan perhatian kecil yang tulus.
Di dunia yang semakin bising dengan gelar dan jabatan, kisah Pak Karino menjadi oase sederhana. Ia mengingatkan bahwa nilai manusia tidak diukur dari pangkat atau posisi, tetapi dari manfaat dan ketulusan.
Sebuah ajakan foto di tangga kampus telah membuka mata banyak orang bahwa penghargaan bisa dimulai dari hal paling sederhana: menyapa, tersenyum, dan mengakui keberadaan orang lain.
Kini, setiap kali kita menaiki tangga yang sama, mungkin kita akan teringat pada satu hal, bahwa kampus bukan hanya berdiri di atas ilmu, tapi juga di atas rasa hormat kepada sesama.
Ayat ini adalah kunci perubahan hidup, baik bagi individu maupun suatu bangsa. Allah tidak akan mengubah nasib seseorang atau suatu kaum sebelum mereka sendiri yang mengusahakan perubahan.
Inilah hukum kehidupan yang Allah tetapkan, sebuah hukum yang berlaku dalam setiap aspek kehidupan, dari spiritual, sosial, ekonomi, hingga politik.
“Mereka… ya, suara itu… selalu datang… tapi bukan seperti kemarin…”
Bagi telinga manusia, meskipun terdengar tidak runtut, ucapan itu tetap bisa memberi isyarat penting: mungkin sedang muncul halusinasi baru, atau ada peningkatan kecemasan.
Namun, bagaimana dengan mesin? Sistem automatic speech recognition (ASR) hanya akan menyalin kata demi kata. Bila salah mengenali kata, atau menghapus jeda dan pengulangan, maka pesan penting bisa hilang. Inilah tantangan besar ketika teknologi bertemu kesehatan jiwa.