Kamis, 04 Agustus 2011

Antara LIPIA dan LIBYA

Sebut saja namanya Nur, salah satu teman akrabku yang sangat bermimpi untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang gratis di negeri yang serba tidak gratis ini. Setamat dari salah satu pesantren di Bogor, dia hijrah ke Bengkulu ke tempat orang tua yang telah melahirkannya.

 Kawan, tak sanggup aku menuliskan betapa kemelaratan menghantam keluarga mereka tanpa ampun. Ayahnya hanya seorang nelayan miskin yang bekerja dengan orang lain. Selama sepuluh hari laki – laki tua tapi murah senyum itu harus hidup di laut meninggalkan isterinya.

Ibunya hanyalah seorang guru ngaji yang terkadang menerima gaji tapi sering pula tidak. Namun ibu tua ini tetap menjalani hidupnya dengan tidak banyak menggerutu, mengeluh apalagi sampai menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Sahabatku ini memiliki satu kakak yang sudah menikah. Namun nampaknya situasi ekonomi keluarganya pun sama seperti orang tuanya.

Kawan ada baiknya ku ceritakan sedikit tentang situasi ekonomi keluarga mereka. Orang tua Nur menempati bedengan murah yang hanya berukuran 5 x 3 M. Tak ada barang berharga yang mereka miliki selain satu televisi tua yang hampir usang. Saya dan istri sempat berkunjung dan bersilaturahim kesana beberapa waktu yang lalu.

Mereka dengan ramah mencegah saya pulang sebelum makan bersama dengan keluarga mereka. Demi menghormati kami, ibunya sampai meminjam piring yang dinilainya layak disajikan untuk tamu. Masya Allah, walau mereka miskin secara harta namun mereka tidak miskin secara akhlak. Hal yang banyak mendera manusia – manusia Indonesia saat ini.


Dahulu ketika baru pulang dari pesantren, temanku ini pulang mengantongi ijazah setara dengan SMA. Ia berharap bisa masuk ke LIPIA (Lembaga ilmu pengetahuan Indonesia – Arab). Karena menurutnya tempat ini adalah tempat yang baik dalam menuntun ilmu agama, bergengsi dan gratis alias tidak membayar.

Sebagai anak bungsu dan satu – satunya harapan keluarga, orang tuanya tentu saja mendukung niat anak mereka untuk melanjutkan kuliah di LIPIA. Setiap malam mereka sholat tahajud, berpuasa daud, merayu Allah agar memperkenankan doa dan keinginan mereka. Begitu juga Nur, tak pernah lepas sholat tahajud dan berdoa dengan khusyuk mengharapkan kemustajaban doanya. Saya sangat tahu itu karena biasanya dia mengajak saya iktikaf di masjid dari ba’da isya sampai sholat tahajud. Saya salah satu orang yang menjadi saksi hidup tentang itu.

Sambil menunggu tes di LIPIA, Nur berusaha agar tidak merepotkan orang tuanya. Syukur – syukur bisa membantu orang tuanya secara finansial. Ia mencoba hidup berdikari dengan mencari kerja. Kerja apapun dia lakoni asalkan bisa mendapatkan uang dan halal.

Akhirnya setelah berusaha mencari kesana kemari, diterimalah ia di salah satu usaha fotokopi. Ia sering sekali menginap di toko tersebut dan jika tidak menginap di masjid. Karena rumah mereka tidak cukup menyediakan tempat tidur untuknya. Ia berusaha terus dengan keras agar bisa masuk ke LIPIA. Setiap selesai sholat dia selalu mengecek hafalannya, membaca buku, melatih kembali percakapannya dalam bahasa  arab.

Hari ujian pun tiba, dengan mengucapkan bismillah dan restu orang tua, ia ikut tes LIPIA. Namun apa hendak di kata, Allah menggariskan bahwa ia tidak lulus masuk ke LIPIA. Dengan perasaan sedih akhirnya ia pulang kembali ke Bengkulu.

Orang tuanya sedih karena didepan mereka telah terpampang bahwa anak mereka harus puas mengenyam pendidikan hanya sebatas SMA. Namun Nur memang bermental pejuang. Ia pun akhirnya ikut tes di Ma’had Usman bin Affan Jakarta dan lulus mengikuti pengajaran selama 1 tahun. Setelah satu tahun berlalu ada pendaftaran untuk mengikuti program belajar S1, S2, S3 gratis di Libya, Negeri Mu’amar khadafi. Dengan mengucapkan bismillah ia mencoba mendaftar dan mengikuti tes itu.

Allah SWT memang menyiapkan satu rencana untuk hambanya yang sabar. Tanpa diduga dan dinyana ia lulus dan berhak untuk mengikuti program belajar di Libya tersebut dengan gratis. Biaya pendidikan, pemondokan, biaya hidup, buku – buku dan semua dana opersional disana ditanggung semuanya. Bahkan jika nilainya mencukupi sampai bisa S2 dan S3 disana. Dengan sujud syukur, ibunya berkata pada saya :

“Ibu Cuma berdoa dan meminta kepada Allah sesuatu yang bila itu dikabulkan cukuplah itu untuk kami. Namun Allah memberikan kami rezeki yang tidak disangka – sangka dan memberikan kami sesuatu yang sangat lebih dari doa kami”

Subhanallah….. Maha Kaya Allah, Maha Bijaksana Allah SWT, semuanya telah digariskan. Allah rupanya hendak menguji kesabaran Nur. Hanya setahun Allah membalas kerja keras dan doa Nur. Ia hanya meminta LIPIA namun Allah memberikannya LIBYA. Sesuatu yang hampir sama dalam pengucapan, namun sesuatu yang tidak sama bagi Nur dan keluarganya. Allah beserta dengan orang – orang yang sabar dan saya tidak meragukan sedikit pun tentang hal itu.

Saat ini Nur sedang berusaha menyelesaikan studi S1 bidang syariah di Libya, dan Insya Allah jika tak ada halangan 3 bulan lagi ia akan menyelesaikannya dan Insya Allah akan melanjutkan S2 nya.


Oleh : Hardiansyah*
Bengkulu siang hari di Sekolah, 21 Maret 2011

*Penulis adalah seorang Guru di Sekolah Alam Mahira Kota Bengkulu, merupakan sahabat dekat yang juga salah satu owner J-Design printing. Seorang good reader dan merupakan aktivis yang gemar mencurahkan pemikirannya di forum-forum ilmiah dan tulisan.

 Terimakasih kak, sudah berkenan untuk memasukkan tulisannya. Barokaullohfik



5 komentar:

  1. keren banget, asal niatnya tulus insya alloh dimudahkan.yang jelas tentu aja punya kemauan yang kuat dan tahu bagaimana akan mewujudkannya ya..

    inspiratorial story.

    BalasHapus
  2. wah, makasih mas pengetahuannya,,, bermanfaat nie bagi kita

    BalasHapus
  3. subhnllh.....mimpi yang sempurna

    BalasHapus
  4. Cukup Menyentuh ceritanya, Sahabat Rio semoga sukses kunjungi blog kita juga ya http://itcbengkulu.blogspot.com/

    by : ardi

    BalasHapus
  5. Maasya Allah... baarakallaahu fiih.

    Man Yuridillahu bihi Khairan Yufaqqihhu fiddin

    BalasHapus

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.