Kamis, 20 Maret 2025

Air dan Kurma di Antrian Terakhir


Aroma nasi kebuli dan gorengan hangat memenuhi udara, menggodai perut yang sudah 14 jam berpuasa. Tapi ketika giliran Rizal tiba, yang ia terima hanya segelas air putih dan tiga butir kurma. Di belakangnya, tawa riang teman-temannya terdengar sambil membawa nampan penuh kue, ayam goreng, dan sirup merah. Hatinya berdesir: mengapa hanya dia yang dapat jatah seadanya?

Rizal menggeser sandal jepitnya di lantai masjid yang dingin, antrian panjang untuk buka puasa di Masjid Al-Mabrur membuat kakinya pegal. Masjid itu terkenal dengan hidangan istimewanya setiap Ramadan—nasi kuning, sop daging, sampai kolak pisang. Tahun lalu, ia bahkan membawa pulang kardus berisi roti canai untuk sahur. Tapi sore ini, panitia berbisik lirih, "Maaf, Nak, stok habis. Ini saja yang tersisa."

Matanya menyapu ruangan. Di meja sebelah, Andi dan Farid—teman ngajinya—tersenyum lebar sambil mengangkat nampan berisi ayam bakar dan puding coklat. "Dasar rezeki orang beda-beda," ucap Andi, tanpa sengaja atau tidak, membuat Rizal menelan ludah. Air putihnya terasa tawar, kurmanya mengering di lidah.

"Ini ujian, Nak," suara seorang kakek di sampingnya tiba-tiba memecah kesunyian. Tangannya menggenggam kurma yang sama, tapi matanya berbinar seperti baru menerima hidangan istimewa. "Nabi dulu berbuka dengan yang lebih sederhana. Tapi, hatinya selalu penuh."

Rizal tertegun. Ia teringat hadis yang pernah diajarkan ustadznya: "Rasulullah berbuka dengan kurma basah sebelum salat. Jika tidak ada, dengan kurma kering. Jika tidak ada, dengan air." Tapi hari ini, justru saat ia mendapat persis seperti sunnah itu, hatinya malah protes.

Malam itu, Rizal pulang dengan perut masih keroncongan, tapi pikirannya penuh. Di kamar, ia membuka Al-Qur'an dan terjebak pada Surah Al-Baqarah: "Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu..." Dadanya sesak. Bukankah Nabi dan para sahabat dulu kerap berbuka dengan seadanya, bahkan hanya menahan lapar? Tapi mengapa kini, ketika ia hanya mendapat kurma dan air, rasanya seperti "kurang"?

Esok harinya, Rizal kembali ke Masjid Al-Mabrur—tapi kali ini, bukan untuk mengantri. Ia membantu panitia membagikan kurma dan air mineral kepada anak-anak yatim yang berbuka di teras. Senyum mereka, yang polos dan bersyukur, membuatnya malu. "Kakak, ini kurma surga ya?" tanya seorang bocah dengan muka kotor. Rizal tersentak.

Di lapis-lapis ujian hati, Rizal sadar: standar "cukup"-nya selama ini terlalu dikendalikan oleh mata, bukan oleh iman. Nabi mengajarkan buka puasa bukan tentang menu, tapi tentang mensyukuri apa yang ada—sebelum meminta lebih. Malam itu, ia sengaja hanya mengambil air dan kurma lagi. Kali ini, rasanya manis.

"Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, ia tak akan mampu mensyukuri yang banyak." — Suara kakek tadi bergema di kepalanya, mengingatkan: ujian terberat Ramadan bukanlah menahan lapar, tapi menundukkan hati yang selalu merasa kurang.

Malang, 21 Ramadan 1446 H 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.