Keberhasilan dapat membuat orang jadi bahagia
itu, biasa. Tapi, kegagalan membuat orang jadi
bahagia itu, tidak biasa. Tapi, apakah hal itu mungkin? Ini perlu kajian yang
lebih jauh.
Dalam tinjauan keimanan sesungguhnya berhasil dan gagal tidak berdiri pada dua sisi yang berbeda, apalagi bertolak belakang. Keduanya berada pada sisi yang sama. Keduanya sama-sama ujian yang dapat mengangkat atau menjatuhkan seseorang dalam pandangan Allah.
Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu ia berkata:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya. (H.R. Muslim)
Kegagalan dapat membuat orang jadi kecewa dan putus asa. Tapi, kegagalan juga bisa membuat seseorang menjadi sadar akan kelemahan dirinya.
Ia menjadi sadar bahwa ternyata keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh keunggulannya. Tidak sedikit orang yang tidak lebih pandai dan tidak lebih rajin tapi lebih sukses daripada orang yang lebih pandai dan lebih rajin.
Orang yang berhasil bisa jadi sadar bahwa keberhasilannya
bukan karena kelebihannya, melainkan karena kehendak Allah. Tapi, sangat
sedikit orang yang mampu membangun sikap seperti ini. Kebanyakan orang
menyandarkan keberhasilannya kepada kemampuannya sendiri sehingga ia pun bangga
dengan dirinya sendiri. Kita akan mendapati fakta ini hampir pada semua orang
yang tengah menceritakan pengalaman hidupnya yang heroik.
Hampir semua orang, atau paling tidak, banyak orang yang gagal dalam mencapai sesuatu dalam hidupnya menganggap bahwa kegagalannya merupakan ujian baginya. Oleh karenanya, mereka berusaha mengambil hikmah atas kegagalannya itu. Sebaliknya, sangat sedikit orang yang berhasil mencapai apa yang diinginkan dalam hidupnya menganggap bahwa keberhasilannya merupakan ujian baginya. Umumnya mereka justru menganggapnya sebagai anugerah. Karenanya, yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang berhasil adalah mengadakan syukuran.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa
lebih banyak orang yang mampu menyelesaikan ujian dalam bentuk kegagalan daripada orang yang mampu menyelesaikan ujian dalam bentuk keberhasilan.Dan ternyata kesimpulan ini sejalan dengan sinyal yang Allah nyatakan di dalam Al-Qur'an. Mari kita cermati ayat (terjemahan) berikut ini!
"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. 39: 49).
Ayat di atas tidak menyebut sebagian manusia atau kebanyakan manusia, melainkan menyebut manusia tanpa pembatasan. Ini berarti bahwa keangkuhan yang terbangun pada orang-orang yang sukses merupakan karakter dasar tiap manusia sebelum mereka menempa dan membekali dirinya dengan keimanan yang benar.
Ayat tersebut memberikan sinyal bahwa orang yang mendapat nikmat berupa keberhasilan, kesuksesan, atau apa pun namanya, cenderung tidak menyadari bahwa semua itu bukan apa-apa kecuali cuma ujian. Dan karena ketidaksadarannya itu, mereka tidak merasa bahwa Allah-lah yang sesungguhnya menentukan keberhasilan di balik semua usaha mereka.
Nabi Sulaiman memberikan ketauladanan tentang merespon sebuah
nikmat:
"Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang
bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia". (Q.S. An Naml : 40)
Bila kita kaji lebih jauh kita akan mendapati fakta yang sangat bersesuaian dengan apa yang telah digambarkan di dalam Al-Qur'an. Fakta itu adalah semua penentang Allah dan pendusta ajaran para nabi adalah orang-orang yang sangat sukses menempati kedudukan tertinggi dalam sistem sosial dan kekuasaan di teritorialnya.
Di antara mereka adalah Fir'aun, Namrud, Abu Lahab, Abu Jahal, dan sebagainya. Adapun orang-orang yang menjadi pengikut setia para nabi pada umumnya adalah mereka yang kehidupannya cukup bersahaja.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa kebanyakan mereka yang
sukses atau berhasil menjadi penentang Allah atau setidaknya tidak menjadi
pengikut setia para nabi?
Ternyata ini terkait dengan efek negatif dari kegagalan dan keberhasilan. Efek negatif dari kegagalan adalah keputusasaan. Adapun efek negatif dari keberhasilan adalah keangkuhan. Keduanya adalah sifat dasar iblis dan sama-sama dapat menjatuhkan seseorang di hadapan Allah. Walaupun kedua sifat itu sama-sama buruk, tapi, keputusasaan tidak terlalu berbahaya dibandingkan dengan keangkuhan. Keputusasaan sangat mungkin menjadi awal bagi tumbuhnya kesadaran seseorang terhadap kekuasaan Allah. Adapun keangkuhan tidak dapat menjadi awal tumbuhnya kesadaran seseorang terhadap kekuasaan Allah. Orang yang angkuh malah cenderung meningkat keangkuhannya dari waktu ke waktu.
Ketika seseorang yang gagal dalam apa yang diinginkannya telah mampu mengubah keputusasaannya menjadi kesadaran terhadap kekuasaan Allah, maka saat itulah kegagalannya menjadi jalan keselamatan baginya. Ia telah berada di jalan yang lurus dengan menyadari bahwa tidak ada kejadian sekecil apa pun yang berada di luar kehendak Allah.
Ketika seorang yang berhasil meraih apa yang diinginkannya tidak mampu membangun keyakinan bahwa keberhasilannya terjadi bukan karena kemampuannya, melainkan karena kehendak Allah, maka ia telah mempersekutukan Allah tanpa ia sadari. Dan dengan kemusyikan ini, ia sedang berada di tepi jurang kesesatan.
Harus kita sadari bahwa hanya sedikit orang yang mampu membangun keyakinan yang lurus, bersih, dan murni kepada Allah di tengah kesuksesannya. Oleh karena itu, Allah memberi jalan kepada mereka yang sedang berada di puncak kesuksesannya dengan mendatangkan kesulitan bahkan penderitaan agar mereka tersadar dan kembali kepada jalan Allah. Kondisi seperti itu digambarkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat (terjemahan) berikut ini:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri." (QS. 6: 42).
Bengkulu, 23 Rabiul Awal 1442 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.