Salah satu ciri
khas seorang muslim dalam memandang adalah selalu mengambil pelajaran dari
segala sesuatu. Ya mengambil hikmah dan sisi positif yang bisa dijadikan
pelajaran hidup.
Dalam membangun
bisnisnya, pria kelahiran Quanzhou, 27 Februari 1921 ini memiliki rahasia untuk
mencapai kesuksesannya. Dalam filosofi kehidupannya, Eka Tjipta mengutamakan
kejujuran dan kredibilitas di segala lini kehidupannya.
"Jujur,
menjaga kredibilitas, tanggung jawab, baik terhadap keluarga, pekerjaan maupun
terhadap sosial," ucap Eka Tjipta Widjaja seperti dikutip di situs resmi
Sinar Mas.
Apa rahasia seorang yang hanya lulusan SD seperti Eka Tjipta bisa sukses?
Baca juga: Lulusan SMP jadi Menteri
Baca juga: Lulusan SMP jadi Menteri
Ada tulisan menarik
dari seorang Dahlan Iskan tentang Eka Tjipta. Pelajaran hidup ini menarik untuk
dibaca sebagai pemompa semangat hidup, khususnya dalam dunia usaha.
Janganlah melihat
orang hanya saat suksesnya. Lihat juga perjuangan menuju sukses itu.
Hanya itu yang bisa
saya simpulkan. Saat menulis naskah ini. Untuk menandai meninggalnya
konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Pada usianya yang 98 tahun. Pukul 19:43. Sabtu
lalu.
Saya sudah sangat
lama tidak bertemu beliau. Beliau memang sudah sangat lama tidak aktif.
Semua bisnis sudah
diserahkan kepada anak-anaknya. Yang ternyata sangat mampu. Menjadikan grup
Sinar Mas tetap yang terkaya di Indonesia.
Dari anaknyalah
saya sesekali mendengar kabar tentang beliau. Misalnya saat beliau sakit. Atau
saat baru sembuh. Setelah ganti seluruh tulang pinggulnya.
Pada usia 98 tahun
baru meninggal. Betapa panjang usianya. Betapa jarang laki-laki yang bisa
mencapai usia itu.
Saya masih bisa
bertemu anaknya: Franky Wijaya. Yang menjadi pengendali grup usahanya. Atau Teguh
Ganda Wijaya. Bos besar usaha bidang kertasnya. Yang menguasai dunia. Sering
juga bertemu anaknya yang lain. Dari istri yang lain. Chandra, pemilik real
estate besar di Surabaya: Pondok Chandra Indah.
Dengan Franky saya
sesekali bertemu. Dalam bakti sosial Budha Tzu Chi. Sebuah agama yang melarang
umatnya membangun rumah ibadah. Juga melarang umatnya sembahyang. Sembahyangnya
adalah berbuat baik. Pada orang lain. Terutama pada orang yang lagi susah.
Tempat ibadahnya adalah daerah-daerah miskin.
Agama itu berpusat
di Hualian, pantai timur Taiwan. Saya sudah pula ke sana. Bersama Franky.
Franky sudah jadi
konglomerat. Tapi tetap angkat-angkat karung saat bakti sosial.
Agama ini juga
punya jaringan stasiun TV DAAI (baca: Ta Ai). Yang hanya menyiarkan kebaikan.
Saya beberapa kali
bertemu Pak Eka Tjipta Widjaja. Di Jakarta atau di Surabaya. Pernah juga
menjadi moderatornya. Saat beliau didaulat menjadi pembicara. Dalam sebuah
seminar enterpreneur.
Saya juga pernah
menulis satu buku kecil tentang Pak Eka. Yang terbit 30 tahun lalu. Saat umur
saya masih 40 tahun. Dan usia Pak Eka masih 70 tahun.
Saya tidak pernah
lupa cerita beliau. Tentang awal-awal memulai jadi pengusaha. Bahkan awal
kehidupannya di Makassar. Saat umurnya baru 9 tahun.
Pada umur sekecil itu
Eka ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas. Menyusul ayahnya.
Yang sudah lebih dulu ke Makassar.
Sang ayah waktu itu
sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek). Dan atapnya
dari rumput. Mungkin maksudnya: daun rumbia.
Sang ayah sudah
punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin
membantu ayahnya.
Yang ia pilih
adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung.
Ia tidak mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih ‘jemput bola’ ke rumah
konsumen.
Masih kecil. Hanya
bisa bicara Hokkian. Tapi sudah punya cara dagang yang berbeda.
Ketika umurnya 12
tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika ditest
kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus memulai dari
kelas satu.
Eka tidak mau. Ia
ingin langsung kelas tiga. Ia sangat malu. Kalau harus satu kelas dengan anak
umur 7 tahun. “Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya ciumi
kaki itu,” ujar Eka.
Kepala sekolah iba.
Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis
Eka akan bisa naik kelas.
Yang bikin guru
jengkel adalah pemberontakannya. Terutama guru berhitung. Eka tidak mau ikut
urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.
Eka selalu memulai
dari kali-tambah-kurang-bagi. “Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi
mana cukup,” katanya mengenang.
Sampai-sampai guru
menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah.
“Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak,” bentak sang guru. Sambil terus
memegang dua kaki Eka di atas.
“Tidak bisa.
Ampun,” teriak Eka.
“Nah begitu juga
berhitung. Tidak bisa dibalik-balik,” ujar sang guru. Seperti yang diceritakan
Eka.
Tamat SD Eka tidak
mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja
tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk
bekerja bisa sekolah malam.
Siang hari Eka
bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya.
Ijazahnya memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA.
Plus pengalaman kerja.
Setamat SD Eka
mendatangi grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar
setelah biskuitnya laku.
Tidak ada yang mau
memberinya biskuit. Dianggap masih anak-anak.
Eka lantas
menyerahkan ijazah SD-nya. Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4 kaleng biskuit.
Dari toko yang ia
ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam dua hari. Uang pun disetor. Untuk
ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng. Ijazah dikembalikan. Eka sudah
mendapat kepercayaan penuh.
Eka lantas bisa
membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit. Omsetnya tidak
pernah lagi naik. Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng.
Omsetnya baru naik
ketika Eka bisa membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut
biskuit. Bisa 18 kaleng.
Eka membayar tukang
becak. Lima gulden sebulan.
Dalam empat tahun
ia bisa mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden.
Ia minta ijin
ayahnya. Memperbaiki rumah. Habis 1.000 Gulden.
Dinding bambu
diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng.
Sisanya ditabung.
Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong.
Sambil mencari
tambahan tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi
bunga tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka
tidak akan bisa diterima bank.
Tahun 1941 Jepang
masuk Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang
menang tender.
Itulah kejatuhan
pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan ludes. Ia pun tidak tahu apa yang
bisa dikerjakan. Di zaman perang seperti itu. Ia lebih banyak bermain di pantai
Losari.
Saat duduk-duduk di
bebatuan itulah ia kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak
jauh dari pantai. Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas
perang. Barang-barang dari gudang yang terbakar: besi, kayu, karung-karung
terigu, karung semen, seng dan sebagainya.
Tiap hari truk itu
membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu bisa jadi uang.
Tapi bagaimana mengangkutnya. Uangnya habis. Tabungannya ludes.
Tapi orang yang
membuang rongsokan itu pasti perlu minum. Maka Eka mendirikan warung di
dekatnya. Memasak kopi. Menyediakan meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya.
Ternyata laku.
Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan
bersama kopi.
Ayam putihnya itu
tidak laku. Ia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru
tidak laku.
Ia kepepet. Nekat.
Ia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. “Saya beri
sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat
uang,” guraunya.
Harapannya
terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam
putihnya habis.
Tapi tujuannya
bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan
yang menggunung itu.
Halaman rumahnya
pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi
diluruskan. Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian
luarnya dibuang. Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci.
Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.
Semen-semen yang
sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi.
Persoalannya:
terigu bekas harganya murah.
Maka Eka
mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar
dikira semuanya masih baru.
Ia beli jarum di
toko. Ia praktekkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil.
Terigu ia jual.
Setiap hari. Semen tidak ia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah
cukup untuk bisa hidup.
Lalu ia pelajari:
untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun
kuburan. Kuburan Tionghoa.
Eka pun mencari
siapa tukang makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri ‘saham’ 20 persen. Hasilnya
menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. “Bagian depan makam dekat
bandara Makassar itu saya semua yang bangun,” katanya.
Nilai semennya
lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen.
Dari bisnis barang
rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok
Rp 1.000. Stock rongsokannya pun habis.
Eka lantas ingin
bisnis minyak goreng. Ia sudah tahu di mana pusat penghasil minyak goreng:
Selayar. Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik kapal satu malam penuh
untuk ke sana.
Ia pun berangkat.
Semua tabungan dibawa. Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa
beli secara utang. Harus kontan.
Di Selayar ia bisa
kulakan 4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen.
Karena membayar kontan.
Ia mabuk. Tidak
mampu berdiri.
Pun waktu kapal
sudah tiba kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu.
Lama. Sebelum bisa berjalan tegak. “Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat
sekali,” katanya.
Baru beberapa hari
di Makassar keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng
hanya boleh dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga
dipatok. Rp 1,5/liter.
Eka Tjipta, yang
waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk kedua kalinya.
Masih muda sudah
merasakan ‘jatuh’ dua kali.
Hidup pun susah.
Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak makan roti. Bukan tidak punya uang tapi
sulit mendapatkan roti. Beli roti harus antre. Satu orang dibatasi maksimal dua
roti.
Hari itu ia sangat
ingin beli roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah.
Tetap tidak diberi.
Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya.
Ia ngeloyor pulang.
Hatinya mendidih. Dendam. Tekadnya bulat: ingin bikin pabrik roti.
Berhari-hari ia
cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia datangi rumahnya. Ia bawakan
oleh-oleh untuk istrinya. “Kalau saya tidak bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak
boleh masuk rumahnya,” katanya bergurau.
Langsung ia
tawarkan gaji dua kali lipat. Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran
diterima dengan senang. Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau
kehilangan gaji sebulan itu.
Eka tidak sabar.
Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus pamungkasnya: ia bayar
gaji yang sebulan itu.
Pabrik rotinya
maju.
Tapi sulit
mendapatkan gula.
Beli gula harus
antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg.
Eka mencari
pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci.
Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari.
Eka menjadi kaya
kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden.
Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.
Saat itulah
temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30
ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.
Waktu meninjau
bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu
mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.
Lalu terjadilah
perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku
macet. Eka bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.
Sekali lagi Eka
tidak mau meninggalkan utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal
terpenting. Dengan kepercayaan ia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.
Ia jual yang bisa
dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggaannya. Ia kembali naik sepeda.
Saat bangkrut yang
ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal
harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya
lagi. Bahkan melengos saat disapa. Ia sampai malu keliling Makassar dengan
sepedanya. Ia merasa semua jari menuding ke mukanya.
Eka tidak tahan
lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino.
Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Ia menghabiskan waktu di situ.
Dengan membaca. Ia memang gemar membaca.
Enam bulan Eka
retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin
mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.
Waktu itu, awal 1950,
TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi
Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau
menjadi pemasok. Khawatir pembayarannya macet.
Eka mendengar itu.
Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Ia punya logika sendiri. “Ini kan
tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang.
Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan negaranya sendiri,” pikirnya.
Eka kembali akan
mengandalkan kepercayaan. Sebagai modal utamanya. Ia datangi perusahaan dagang
negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia minta barang. Bayar
belakangan. Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara.
Ternyata dua minggu
tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak. Eka
datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas
dan tagihan. Ia ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan.
Setelah lewat dua
bulan pembayaran cair. Sekaligus. Banyak sekali. Eka menjadi banyak uang lagi.
Utangnya pun lunas.
Eka menjadi akrab
dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang yang berjasa. Kesempatan
pun terbuka. Eka boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar
dalam keadaan kosong. Setelah mengirim tentara ke Manado.
Eka pun memuatinya
dengan kopra. Yang melimpah di Manado. Dengan harga murah. Ia jual di Makassar.
Dengan harga tinggi.
Jadilah Eka
pedagang kopra. Ia sering pergi ke Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat
kopra ia kuasai.
Ia pun sudah berani
carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta. Jaringan
dagangnya kian luas.
Suatu saat ia sudah
mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Ia carter kapal besar dari Jakarta.
Untuk ukuran saat itu.
Ketika kapal tiba
pecahlah pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra
3 ribu ton ia tinggal. Kapal carterannya kembali ke Surabaya hanya membawa
dirinya.
Eka bangkrut untuk
keempat kalinya.
Ia tidak mau lagi
tinggal di Makassar. Ia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih aman. Yang
memungkinkan bisnis berkembang.
Di Surabaya Eka
ditampung di kamar temannya. Ukuran 2 x 3 meter. Ia hanya membawa modal
kepercayaan. Dan nama baik.
Ia pun menghadap
Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat. Diijinkan pula mengisi kapal tentara
dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa bahan
makanan. Balik ke Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat 25
persennya.
Di Surabayalah Eka
berkembang pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Surabaya merambah
Indonesia. Tidak pernah bangkrut lagi.
Waktu saya berumur
40 tahun saya bertanya pada Pak Eka: Apakah masih membayangkan bahwa suatu saat
akan bangkrut lagi. Untuk kelima kalinya.
“Sekarang sudah
tidak mungkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut,” katanya.
Itu tahun 1992.
Diucapkan di Surabaya. Kepada saya.
Saat itu Pak Eka
sudah menjadi orang terkaya kedua di Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik
minyak gorengnya sudah yang terbesar di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di
Asia. Bisnis Grup Sinar Mas sudah merambah ke segala arah.
Saya pernah ke
Ningbo. Sudah ada Bank International Ningbo. Miliknya. Saya ke Suzhou. Sudah
ada pabrik kertas sangat besar di sana. Saya ke Shanghai. Gedung pencakar
langitnya sangat menonjol di pusat kota Shanghai.
Waktu mengucapkan
‘tidak mungkin lagi bangkrut’ kelihatannya Pak Eka tidak membayangkan: bakal
terjadi krisis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas
mencapai sekitar Rp 110 triliun. Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.
Yang menagih pun
sampai kesulitan. Untuk berunding pun sulit. 60 bank dan 40 negara harus
setuju. Caranya maupun pembagian hasil penagihannya.
Sampai-sampai utang
itu distensil. Dibekukan. Ini membuat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil
penjualannya bisa untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.
Memang Sinar Mas
sempat kehilangan Bank International Indonesia. Tapi Pak Eka benar: sudah terlalu
besar untuk bisa bangkrut.
Sabtu lalu Pak Eka
meninggal dunia. Meninggalkan semua itu. Tapi juga meninggalkan pelajaran
bisnis yang luar biasa berharga.(dahlan iskan)
Baca juga: Kunci Sukses Aa Gym: Dakwah dan Bisnis
Photo credit: rmol
Baca juga: Kunci Sukses Aa Gym: Dakwah dan Bisnis
Photo credit: rmol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.