Dua buku bagus yang pernah saya baca adalah “Sekolahnya Manusia” karya Munif Khatib dan “Orang Miskin di larang Sekolah” karya Eko Prasetyo. Dari segi judul buku ini memaparkan satu hal yang sama yaitu sekolah dan sama – sama provokatif. Dalam sekolahnya manusia karya Munif Khatib pembaca diajak untuk menelusuri metode pembelajaran yang unik dan sama sekali tidak konvensional.
Buku ini juga mengkritik metode – metode pembelajaran yang konvensional dan tidak berpihak pada anak berkebutuhan khusus dan anak yang memiliki perbedaan dengan teman – temannya yang lain. Sedangkan di dalam buku Orang miskin dilarang sekolahnya Eko Prasetyo – yang sangat – sangat provokatif menurut saya – lebih berisi pada kritik sosial terhadap wajah pendidikan kita. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan yang menjelma menjadi hantu yang menakutkan bagi kebanyakan orang tua yang tidak mampu, sampai tidak manusiawinya pendidikan yang ada di negara kita saat ini.
Buku ini juga mengkritik metode – metode pembelajaran yang konvensional dan tidak berpihak pada anak berkebutuhan khusus dan anak yang memiliki perbedaan dengan teman – temannya yang lain. Sedangkan di dalam buku Orang miskin dilarang sekolahnya Eko Prasetyo – yang sangat – sangat provokatif menurut saya – lebih berisi pada kritik sosial terhadap wajah pendidikan kita. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan yang menjelma menjadi hantu yang menakutkan bagi kebanyakan orang tua yang tidak mampu, sampai tidak manusiawinya pendidikan yang ada di negara kita saat ini.
Terlepas dari kedua buku tersebut, kita memang melihat semerawutnya pendidikan yang terjadi di Negara kita. Mulai dari hal – hal yang kecil hingga hal – hal yang besar. Sebagai tenaga pendidik tentunya saya sangat merasa prihatin terhadap dunia pendidikan kita. Seorang teman pernah berkata “Mau gimana lagi, sudah tercover dalam sistem, kita tak bisa berbuat apa – apa” seorang pejabat Diknas pun berkata hal yang sama ketika mengisi pelatihan kami.
Saya marah dan kecewa jika ada seorang pendidik yang berkata seperti ini. Tidaklah ucapan itu keluar dari seorang pendidik, melainkan pendidik itu hanya tingal di masa lalu dan masa sekarang. Mengapa? Karena kita bisa merubah itu semua, sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun lagi jika kita bisa mendidik anak – anak didik kita dengan baik. Menjadi pribadi yang pantang korupsi, menjadi pribadi yang tangguh dan bekerja keras, menjadi pribadi yang berwibawa, menjadi pribadi baru yang pantang dijajah. Sadar dan sadarlah, kita sedang mendidik calon pemimpin masa depan, bukan calon pemimpin masa lalu dan saat ini. Semua ada di pundak kita. Inilah ladang jihad bagi kita.
Saya marah dan kecewa jika ada seorang pendidik yang berkata seperti ini. Tidaklah ucapan itu keluar dari seorang pendidik, melainkan pendidik itu hanya tingal di masa lalu dan masa sekarang. Mengapa? Karena kita bisa merubah itu semua, sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun lagi jika kita bisa mendidik anak – anak didik kita dengan baik. Menjadi pribadi yang pantang korupsi, menjadi pribadi yang tangguh dan bekerja keras, menjadi pribadi yang berwibawa, menjadi pribadi baru yang pantang dijajah. Sadar dan sadarlah, kita sedang mendidik calon pemimpin masa depan, bukan calon pemimpin masa lalu dan saat ini. Semua ada di pundak kita. Inilah ladang jihad bagi kita.
Menjadi tenaga pendidik (guru) bukanlah pekerjaan mudah. Guru dituntut untuk memiliki kesabaran, inovasi dan kreativitas dalam pengajaran. Namun jauh dari itu, guru juga dituntut untuk memiliki pemikiran yang radikal dalam mendidik. Tidak hanya mendidik dengan menjejalkan banyak – banyak teori kedalam otak kecil anak, namun jauh dari itu guru harus bisa menyadarkan pada anak tentang kondisi rill masyarakat yang berada di luar pagar sekolah mereka. Menarik apa yang disampaikan Mas Eko prasetyo dalam orang miskin dilarang sekolah, terkadang anak – anak ketika telah sampai di dalam sekolah seolah memasuki dunia lain yang menjauhkan dia dari realitas social yang terjadi dalam masyarakatnya sendiri. Yang terjadi kemudian adalah terbentuknya anak – anak yang tidak respek terhadap permasalahan yang terjadi, apatis dan egois.
Saya pernah berfikir mengapa ulama – ulama zaman dahulu bisa maju dalam segi pemikiran, bahkan bisa menguasai berbagai macam ilmu dan ahli di bidangnya. Seperti Ibnu Sina, selain mahir dalam bidang kedokteran, ia juga sangat mahir dalam bidang filsafat,sehingga namanya bisa disejajrkan dengan Plato dan Aristoteles, Mahaguru para filsuf Yunani. Begitu juga dengan Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Al- Mawardi, dan sederet nama lainnya. Begitu juga para ilmuwan yang berasal dari barat (yang saat ini bisa dengan mudah kita temukan dalam literature sains).
Akhirnya saya menemukan sesuatu jawaban yang membuat saya yakin yaitu karena kecintaan mereka pada ilmu yang mereka gelutinya. Karena cinta pada ilmu Galileo harus menghabiskan sisa hidupnya sebagai orang buangan, karena cinta pada ilmulah Imam Ahmad bin Hanbal menempuh ribuan kilometer menyeberangi gurun pasir yang panas demi sebuah hadist, karena cinta pada ilmulah, Albert Einstein tidak shock melihat apa yang tertulis pada buku raportnya, “ Ia takkan menjadi apa – apa”, karena kecintaan pada ilmu lah al – makmun mengeluarkan biaya Negara yang sangat – sangat besar untuk menyadur buku berbahasa Yunani ke Bahasa Arab. Semua itu karena cinta.
Akhirnya saya menemukan sesuatu jawaban yang membuat saya yakin yaitu karena kecintaan mereka pada ilmu yang mereka gelutinya. Karena cinta pada ilmu Galileo harus menghabiskan sisa hidupnya sebagai orang buangan, karena cinta pada ilmulah Imam Ahmad bin Hanbal menempuh ribuan kilometer menyeberangi gurun pasir yang panas demi sebuah hadist, karena cinta pada ilmulah, Albert Einstein tidak shock melihat apa yang tertulis pada buku raportnya, “ Ia takkan menjadi apa – apa”, karena kecintaan pada ilmu lah al – makmun mengeluarkan biaya Negara yang sangat – sangat besar untuk menyadur buku berbahasa Yunani ke Bahasa Arab. Semua itu karena cinta.
Pertanyaan sederhana, sudahkah kita memantik rasa cinta anak didik kita pada ilmu pengetahuan ? ataukah yang kita lakukan sebagai seorang pendidik hanyalah menjejalkan dan menjejalkan teori kepada anak didik kita. Saya yakin banyaknya anak – anak yang tidak suka pada matematika karena guru hanya berfokus pada menanamkan teori pada benak si anak. Jikalau semua guru di Indonesia ini sepakat bahwa penanaman kecintaan pada ilmu lebih diutamakan dari pada menjejalkan teori – yang kadang tidak digunakan ketika dewasa – maka akan terciptalah Imam Syafi’I baru pada zaman ini. Einstein pun akan berdecak kagum melihat kemajuan bangsa ini. Jikalau rasa cinta pada ilmu sudah dimiliki, saya rasa tidak perlu ada hukuman bagi orang yang bolos sekolah. Karena tak ada anak yang bolos sekolah. Tidak perlu memaksa anak untuk belajar matematika, tidak akan ada anak yang takut belajar bahasa inggris atau kimia.
Guru atau orang tua akan sangat marah melihat anak atau siswanya bolos sekolah. Tapi jika kita cermati dengan kepala dingin akan muncul pernyataan, mengapa mereka sampai membolos ? apakah mereka memiliki pemikiran sekolah adalah hal yang membosankan ?. Jika jawabannya Ya, mengapa kita tidak membuat satu perubahan agar sekolah tidak membosankan ? Mengapa anak lebih betah di mall dan café dari pada disekolah ? bagaimana jika nuansa Mall dan café itu kita jiplak dan di bawa kedunia pendidikan ?
Saya terkadang sedih melihat anak yang sepulang sekolah harus les bahasa inggris, sorenya les matematika dan malamnya harus ditambah les private di rumah. Jikalau mereka berani jujur berkata mereka akan protes. UN merupakan momok yang menakutkan bagi siswa dan menjadi motivator ulung menciptakan suasana psikologis yang tertekan pada diri siswa. Hal ini terbukti juara olimpiade fisika bisa tidak lulus justru pada mata pelajaran fisika. Kesedihan saya juga sama melihat anak – anak di pasar tempat saya berdomisili harus menjual kantong kresek, mengamen bahkan mengemis. Jangan ditanya tentang sekolah karena orang tua mereka akan menjawab bahwa mereka tidak akan pernah mampu membayar biaya pendidikan.
Pemerintah memang menggembar – gemborkan tentang pendidikan gratis namun, faktanya dilapangan masih banyak pungutan – pungutan liar. Apalagi kalau bicara perguruan tinggi, biayanya bisa berjuta – juta. Kalau miskin tapi otak super encer pasti bisa diterima dengan bea siswa. Nah yang paling banyak di Indonesia ini kan miskin tapi otaknya berada dizona standar. Lantas bagaimana dengan mereka ?. sekolah swasta memang kualitasnya terjamin tapi biayanya Naudzubillah sadisnya. Karena inilah saya mengidamkan memiliki sekolah gratis segratis – gratisnya untuk orang yang tidak mampu.
Akhir kata jangan sampai ilmu yang diajarkan di sekolah – sekolah Indonesia ini tidak barakah. Mulai dari penzaliman terhadap orang miskin yang dilarang sekolah, Guru yang “Nyuap” untuk jadi PNS, gaji guru yang ditunda pembayarannya sampai kepada korupsi yang melanda pendidikan di Negara kita ini. Naudzubillah
Oleh : Hardiansyah
Pagi Hari Di Sekolah, Kamis 24 Maret 2011
Wallahu’alam bishaab
Buku2 yang mencerahkan, tetap semangat karena harapan itu masih ada ;)
BalasHapusOptimis terhadap perubhan,..hari-hari senantiasa bergulir.,.Ki hajar Dewantara Ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso tutwuri handayani,.konsep ini guru harus memilikinya
BalasHapusbeginilah indonesia..
BalasHapusselamat datang paradigma baru,selamat datang harapan baru,selamat datang education for all,selamat datang Indonesia Emas, jika manusia dapat memperlakukan sebagai manusia....
BalasHapus