Selasa, 11 Juni 2019

Tetaplah di sini

Tetaplah disini saudaraku. Di jalan keimanan. Di jalan keislaman. Tetaplah bersama-sama meniti jalan ini sampai usai. Kita semua mungkin telah letih. Karena perjalanan ini memang amat panjang dan amat berliku. Tapi, tetaplah di sini dan jangan menjauh.

Yakinlah, kenikmatan yang kita reguk di jalan ini, jauh lebih banyak ketimbang yang dilakukan orang-orang  yang lalai. Keindahan yang kita alami di sini, sangat lebih indah daripada keindahan yang kerap dibanggakan oleh mereka yang jauh dari jalan ini. Jangan berharap atau tertipu dengan fatamorgana kenikmatan, keindahan, kebahagiaan semua yang sering kita lihat dari orang-orang  yang jauh dari tuntunan Allah subahanahu wata’ala.

Tetaplah di sini.

Keindahan dan kemanisan hidup, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berada di jalan-Nya. Dahulu, para salafushalih banyak mengurai indahnya hidup dalam keimanan yang mereka rasakan. Ada salah seorang dari mereka mengatakan, "Aku pernah melewati beberapa saat dalam hidup. Saat itu aku katakan, "Jika penghuni surga berada dalam kondisi seperti ini, pastilah mereka dalam kehidupan yang amat baik".

Yang lain ada yang mengatakan, "Aku pernah mengalami suasana hati yang sangat indah karena kedekatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya".

Juga ada yang mengatakan, "Sungguh sengsara sekali orang-orang yang lalai. Mereka meninggalkan dunia ( wafat ) tapi mereka belum pernah merasakan kenikmatan yang paling indah di dunia ( hidup bersama Allah )". Ada lagi yang mengatakan, "Seandainya raja-raja dan anak raja itu mengetahui apa yang kami rasakan, pasti mereka menguliti kami dengan pedang untuk mendapatkan kesenangan yang kami miliki". ( Ighatsatul Lahafan, 1/191 )

Pernah merasakan suasana seperti itu saudaraku ?

Coba kita renungkan bagaimana lukisan perasaan itu disampaikan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah saat ia dipenjara dan disiksa. Fisiknya tersiksa, tapi justru di sanalah ia merasakan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dalam sebuah risalahnya ia menuliskan surat untuk para sahabatnya. "Syukur alhamdulillah kepada Allah subhanahu wata’ala. Aku kini berada dalam kenikmatan besar yang selalu bertambah hari demi hari. Allah swt memperbaharui nikmat-Nya kepadaku. Aku dapat menulis kitab dan itu adalah kenikmatan yang paling besar. Aku sangat ingin menulis kitab agar kalian bisa membacanya. Surat2x yg kalian kirimkan telah sampai kepadaku. Aku dalam keadaan baik. Dua mataku dalam kondisi baik bahkan lebih baik dari sebelumnya. Aku dalam kenikmatan sangat besar, yang tak dapat terhitung dan terlukiskan. Alhamdulillah pujian kepada Allah yang sangat banyak". ( Fatawa Ibnu Taimiyah, 28/47 )

Begitulah perasaan seorang muslim yang jujur dalam kebenaran dan benar dalam kejujurannya. Ia justru memperoleh puncak obsesi dan keinginannya di saat ia mendapatkan ujian. Keinginannya adalah apa yang dapat ia berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Kegembiraannya adalah pada bagaimana ia melihat hasil perjuangan dakwahnya kepada umat. Obsesinya adalah bagaimana ia bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat.

Tenangilah hati dan jiwa kita untuk tetap bersama, saudaraku.

Semua keadaan yang lebih tinggi selalu berada di atas. Semua posisi yang lebih mulia, selalu dicapai lewat tangga ujian. Cepat menyerah, putus asa, rasa frustasi, tak pernah bisa membawa kita untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi.

Pernah ada seorang pemuda bertanya pada Imam Syafi'i rahimahullah, "Ya Abu Abdillah, mana yang lebih baik antara seseorang yg diberi tamkin ( kekuasaan di muka bumi ) atau mendapat ujian dari Allah"? Imam Syafi'i mengatakan, "Tamkin akan terwujud setelah seseorang mendapat ujian. Allah swt telah menguji Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad shalawatullah 'alaihim. Ketika mereka bersabar atas ujian yang diberikan, maka Allah kokohkan kedudukan mereka. Jangan seorangpun di antara kalian mengira terlepas dari rasa sakit". ( Al Fawaid, Ibnul Qayyim )

Tetaplah di sini...
Mari kita bergerak saat manusia istirahat. Mari kita bekerja saat manusia lain diam. Jangan tertipu oleh gemerlap hidup orang lain. Ingatlah bahwa amal yang kita lakukan, nilainya ada pada bagaimana kita mengakhiri hidup dengan amal shalih itu. Jadilah orang yang selalu mencari ridho-Nya.

Hidup ini memang tak lebih dari lembar demi lambar ujian antar sesama kita. Itulah yang Allah subhanahu wata’ala firmankan, "Dan kami jadikan sebagian kalian dengan sebagian lainnya sebagai ujian".

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Bahwa kondisi ujian seperti ini akan dialami oleh semua orang. Para Rasul diuji oleh kaum yg didakwahinya. Diuji kesabarannya atas cacian mereka. Diuji kemampuannya memikul beban dalam menyampaikan tugas risalah Allah. Kaum yang disampaikan ajaran oleh para Rasul itu, juga diuji oleh dakwah yang disampaikan para Rasul. Diuji apakah mereka mentaati para Rasul, menolong dan membenarkannya ? Atau mereka justru mengkufuri, menolak dan memeranginya ?

Para ulama diuji dengan orang-orang bodoh. Apakah para ulama itu tetap mengajari, menasehati, dan sabar untuk mengajari mereka ? Dan orang-orang bodoh juga diuji dengan adanya para ulama. Apakah mereka akan mentaati dan mengikuti para ulama ? Kaum laki-laki diuji dengan adanya kaum perempuan. Dan sebaliknya wanita juga diuji dengan adanya kaum pria. Suami diuji dengan istrinya. Istri diuji dengan suaminya. Orang mukmin diuji dengan orang kafir. Orang kafir diuji dengan orang mukmin. ( Ighatsul Lahafan, 2/161 )

Dengarkanlah sebuah syair yg dikutip oleh Ibnul Qayyim dlm kitab Miftah Darus Sa'adah, "Adakah orang yg sampai pada kedudukan terpuji, atau akhir yang utama. Kecuali setelah ia melewati jembatan ujian. Demikianlah kedudukanmu jika engkau ingin mencapainya. Naiklah ke sana dengan melewati jembatan kelelahan". ( Miftah Darus Sa'adah, 1/103 )

Tetaplah di sini saudaraku,

Kita akan memulai perjalanan yang lebih mendaki dan terjal. Tapi di sanalah kita berharap bisa bersama merasakan kenikmatan yang kita idam-idamkan.

Maka, ucapkanlah "Alhamdulillah" atas seluruh keadaan yang kita alami. Meski kebersamaan ini sungguh menguras keringat dan meletihkan sendi-sendi.

Photo Credit: Koleksi Pribadi di Parung, Bogor
Sumber tulisan: Grup WA, oleh Muhammad Nursani

Bengkulu, 7 Syawal 1440 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.