Tetaplah disini saudaraku. Di jalan keimanan. Di jalan
keislaman. Tetaplah bersama-sama meniti jalan ini sampai usai. Kita semua
mungkin telah letih. Karena perjalanan ini memang amat panjang dan amat
berliku. Tapi, tetaplah di sini dan jangan menjauh.
Photo Credit: Koleksi Pribadi di Parung, Bogor
Sumber tulisan: Grup WA, oleh Muhammad Nursani
Bengkulu, 7 Syawal 1440 H
Yakinlah, kenikmatan yang kita reguk di jalan ini, jauh lebih
banyak ketimbang yang dilakukan orang-orang yang lalai. Keindahan yang kita alami di sini,
sangat lebih indah daripada keindahan yang kerap dibanggakan oleh mereka yang
jauh dari jalan ini. Jangan berharap atau tertipu dengan fatamorgana
kenikmatan, keindahan, kebahagiaan semua yang sering kita lihat dari
orang-orang yang jauh dari tuntunan
Allah subahanahu wata’ala.
Tetaplah di sini.
Keindahan dan kemanisan hidup, hanya bisa dirasakan oleh
mereka yang berada di jalan-Nya. Dahulu, para salafushalih banyak mengurai
indahnya hidup dalam keimanan yang mereka rasakan. Ada salah seorang dari
mereka mengatakan, "Aku pernah melewati beberapa saat dalam hidup. Saat
itu aku katakan, "Jika penghuni surga berada dalam kondisi seperti ini,
pastilah mereka dalam kehidupan yang amat baik".
Yang lain ada yang mengatakan, "Aku pernah mengalami
suasana hati yang sangat indah karena kedekatan pada Allah dan kecintaan
pada-Nya".
Juga ada yang mengatakan, "Sungguh sengsara sekali
orang-orang yang lalai. Mereka meninggalkan dunia ( wafat ) tapi mereka belum
pernah merasakan kenikmatan yang paling indah di dunia ( hidup bersama Allah
)". Ada lagi yang mengatakan, "Seandainya raja-raja dan anak raja itu
mengetahui apa yang kami rasakan, pasti mereka menguliti kami dengan pedang
untuk mendapatkan kesenangan yang kami miliki". ( Ighatsatul Lahafan,
1/191 )
Pernah merasakan suasana seperti itu saudaraku ?
Coba kita renungkan bagaimana lukisan perasaan itu
disampaikan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah
saat ia dipenjara dan disiksa. Fisiknya tersiksa, tapi justru di sanalah ia
merasakan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dalam sebuah risalahnya ia menuliskan surat untuk para
sahabatnya. "Syukur alhamdulillah kepada
Allah subhanahu wata’ala. Aku kini berada dalam kenikmatan besar yang selalu
bertambah hari demi hari. Allah swt memperbaharui nikmat-Nya kepadaku. Aku dapat
menulis kitab dan itu adalah kenikmatan yang paling besar. Aku sangat ingin
menulis kitab agar kalian bisa membacanya. Surat2x yg kalian kirimkan telah
sampai kepadaku. Aku dalam keadaan baik. Dua mataku dalam kondisi baik bahkan lebih
baik dari sebelumnya. Aku dalam kenikmatan sangat besar, yang tak dapat
terhitung dan terlukiskan. Alhamdulillah pujian kepada Allah yang sangat
banyak". ( Fatawa Ibnu Taimiyah, 28/47 )
Begitulah perasaan seorang muslim yang jujur dalam kebenaran
dan benar dalam kejujurannya. Ia justru memperoleh puncak obsesi dan
keinginannya di saat ia mendapatkan ujian. Keinginannya adalah apa yang dapat
ia berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Kegembiraannya adalah pada bagaimana
ia melihat hasil perjuangan dakwahnya kepada umat. Obsesinya adalah bagaimana
ia bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat.
Tenangilah hati dan jiwa kita untuk tetap bersama, saudaraku.
Semua keadaan yang lebih tinggi selalu berada di atas. Semua
posisi yang lebih mulia, selalu dicapai lewat tangga ujian. Cepat menyerah,
putus asa, rasa frustasi, tak pernah bisa membawa kita untuk mencapai kedudukan
yang lebih tinggi.
Pernah ada seorang pemuda bertanya pada Imam Syafi'i
rahimahullah, "Ya Abu Abdillah, mana yang lebih baik antara seseorang yg
diberi tamkin ( kekuasaan di muka bumi ) atau mendapat ujian dari Allah"?
Imam Syafi'i mengatakan, "Tamkin akan terwujud setelah seseorang mendapat
ujian. Allah swt telah menguji Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad shalawatullah 'alaihim. Ketika mereka
bersabar atas ujian yang diberikan, maka Allah kokohkan kedudukan mereka.
Jangan seorangpun di antara kalian mengira terlepas dari rasa sakit". ( Al
Fawaid, Ibnul Qayyim )
Tetaplah di sini...
Mari kita bergerak saat manusia istirahat. Mari kita bekerja
saat manusia lain diam. Jangan tertipu oleh gemerlap hidup orang lain. Ingatlah
bahwa amal yang kita lakukan, nilainya ada pada bagaimana kita mengakhiri hidup
dengan amal shalih itu. Jadilah orang yang selalu mencari ridho-Nya.
Hidup ini memang tak lebih dari lembar demi lambar ujian
antar sesama kita. Itulah yang Allah subhanahu
wata’ala firmankan, "Dan kami
jadikan sebagian kalian dengan sebagian lainnya sebagai ujian".
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Bahwa kondisi
ujian seperti ini akan dialami oleh semua orang. Para Rasul diuji oleh kaum yg
didakwahinya. Diuji kesabarannya atas cacian mereka. Diuji kemampuannya memikul
beban dalam menyampaikan tugas risalah Allah. Kaum yang disampaikan ajaran oleh
para Rasul itu, juga diuji oleh dakwah yang disampaikan para Rasul. Diuji
apakah mereka mentaati para Rasul, menolong dan membenarkannya ? Atau mereka
justru mengkufuri, menolak dan memeranginya ?
Para ulama diuji dengan orang-orang bodoh. Apakah para ulama
itu tetap mengajari, menasehati, dan sabar untuk mengajari mereka ? Dan
orang-orang bodoh juga diuji dengan adanya para ulama. Apakah mereka akan
mentaati dan mengikuti para ulama ? Kaum laki-laki diuji dengan adanya kaum perempuan.
Dan sebaliknya wanita juga diuji dengan adanya kaum pria. Suami diuji dengan
istrinya. Istri diuji dengan suaminya. Orang mukmin diuji dengan orang kafir.
Orang kafir diuji dengan orang mukmin. ( Ighatsul Lahafan, 2/161 )
Dengarkanlah sebuah syair yg dikutip oleh Ibnul Qayyim dlm
kitab Miftah Darus Sa'adah, "Adakah orang yg sampai pada kedudukan
terpuji, atau akhir yang utama. Kecuali setelah ia melewati jembatan ujian.
Demikianlah kedudukanmu jika engkau ingin mencapainya. Naiklah ke sana dengan
melewati jembatan kelelahan". ( Miftah Darus Sa'adah, 1/103 )
Tetaplah di sini saudaraku,
Kita akan memulai perjalanan yang lebih mendaki dan terjal. Tapi
di sanalah kita berharap bisa bersama merasakan kenikmatan yang kita
idam-idamkan.
Maka, ucapkanlah "Alhamdulillah" atas seluruh
keadaan yang kita alami. Meski kebersamaan ini sungguh menguras keringat dan
meletihkan sendi-sendi.
Photo Credit: Koleksi Pribadi di Parung, Bogor
Bengkulu, 7 Syawal 1440 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.