yang sangat jelek,
belum diaspal, bergelombang dan banyak kubangan
lumpur. Namun,
santri yang memegang setang kemudi motor, tetap melajukan
motornya dengan
kecepatan tinggi.
Berkomentarlah
santri yang dibonceng: "qalbun-qalbun", maksudnya:
"hati-hati,
jangan ngebut, nanti kita bisa celaka".
Dari penggalan
kisah di atas, kita bisa mengambil satu pelajaran, yaitu:
agar kita tidak
celaka, kita mesti hati-hati, atau dalam bahasa Arab
yang masih
grotal-gratul: qalbun-qalbun.
Jadi, kunci
kecelakaan atau kebahagiaan terletak pada hati atau istilah
arab-nya: qalbun.
Maksudnya, jika kita memperhatikan qalbun (kalbu atau
hati) kita, niscaya
kita akan berbahagia. Sebaliknya, bila kita tidak
memperhatikannya,
niscaya kita akan celaka.
Rasulullah saw
bersabda:
Ingatlah,
sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika
ia baik, baiklah
seluruh jasad, dan jika ia rusak, rusaklah seluruh
jasab, segumpal
daging itu adalah hati (nurani). (HR Muttafaqun ‘alaih).
Namun, di sinilah
letak kerumitan makhluq yang bernama hati atau kalbu
atau qalbun ini.
Namanya saja qalbun. Secara harfiah, ia berarti
mbolak-mbalik (jw),
bolak balik, tidak stabil, tidak konstan, cepat
sekali berubah.
Seorang penyair
Arab mengatakan:
Manusia tidak
disebut insan kecuali karena sifat pelupanya. Dan hati
tidak dinamakan
kalbu kecuali karena ia bolak balik (cepat berubah).
Mengingat watak dan
sifatnya yang seperti inilah, perlu perhatian ekstra
dan super serius
agar bagaimanapun mbolak-mbalik-nya hati kita, ia tetap
beriman, berpegang
teguh kepada Islam, komitmen dengan tata aturannya,
serta konsisten
meniti shirathal mustaqim, atau istilah qur’an-nya
istiqamah, dan
terus menerus menda’wahkannya kepada semua lapisan
masyarakat.
Tersebut dalam
hadits bahwa Rasulullah saw sangat sering sekali
memanjatkan do’a:
Wahai Dzat yang
membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas
agama-Mu. (HR
At-Tirmidzi, dan ia berkata: hadits hasan).
Lebih repot lagi
bila kita menyadari bahwa hati yang wataknya seperti
itu tadi, pasti dan
tidak bisa tidak, akan dihadapkan kepada berbagai
macam godaan,
cobaan, fitnah (menurut bahasa Al Qur’an dan Al Hadits,
yang dimaksud
fitnah adalah ujian atau test, bukan gosip), dan ibtila’
(tribulasi). Baik
tribulasi yang baik (harta, kedudukan atau tahta dan
wanita) ataupun
tribulasi yang jelek (sakit, kefakiran atau kemiskinan,
dan semacamnya).
Rasulullah saw
menjelaskan bahwa tidak ada satu hati manusia-pun yang
luput dari fitnah
ini, semuanya akan dihadapkan kepada fitnah ini. Dan
fitnah ini akan
melewati setiap hati manusia seperti lewatnya anyaman
tikar. Bukankah
tikar tradisional itu anyamannya menyilang satu satu!
Begitu pulalah
antara hati dengan fitnah itu. Setiap hati akan bertemu
dengan fitnah dan
setiap fitnah pasti akan melewati hati.
Rasulullah saw
bersabda: Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati,
seperti tikar, satu
serat satu serat, maka hati mana saja yang menyerap
fitnah itu, akan
ternodalah satu titik hitam di atasnya, dan hati mana
saja yang tidak
menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik
putih, sehingga,
jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu marmar,
sehingga fitnah
apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan
bumi, sementara
hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko miring,
tidak mengenal
kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa
nafsu yang
diserapnya. (HR Muslim)
Bila kita hayati
hadits Rasulullah saw ini, ada beberapa pelajaran yang
bisa kita ambil,
diantaranya adalah:
1.Semua hati
manusia akan bertemu dengan fitnah (ujian, test), bahkan
antara fitnah dan
hati itu ibarat serat-serat tikar yang saling tumpang
menumpang, silang
menyilang dan tindih menindih, tidak ada satupun hati
yang luput atau
tidak terlewati atau terlalui fitnah itu.
2.Satu kali hati
yang menyerap fitnah itu, atau menerimanya, atau OK
terhadapnya, maka
jadilah fitnah itu satu noda hitam pada permukaan hati
itu. Dua kali OK
terhadapnya, jadilah titik itu dua, begitu seterusnya,
sehingga kalau
sering-sering OK dengan fitnah-fitnah itu, jadilah
seluruh permukaan
hati itu hitam, tidak sedikitpun ada celah bagi cahaya
(nur) untuk masuk
ke dalamnya, begitu juga sebaliknya, dia tidak akan
melihat cahaya
(nur) selamanya. Karenanya, hati itu tidak akan lagi
mengenal mana yang
ma’ruf dan mana yang munkar, tidak lagi mengenal
batasan halal dan
haram, bahkan bisa jadi lebih parah lagi, yaitu: ia
akan memerintahkan
yang munkar dan melarang yang ma’ruf, na’udzu billahi
min dzalik.
3.Sebaliknya, jika
saat bertemu fitnah pertama kali ia tidak mau
menerimanya, tidak
menyerapnya dan tidak OK terhadapnya, atau
istilahnya:
menolaknya, maka penolakan ini akan menjadi satu titik putih
yang cemerlang pada
permukaan hatinya, dua kali menolak dua titik, dan
seterusnya, sehingga
seluruh permukaan hatinya akan berwarna putih
cemerlang, yang
dengan mudah akan menerima cahaya (nur) karena sejalan
dengannya, dan
dengan cahaya (nur) itu pula ia akan dengan mudah
mengenali mana yang
ma’ruf dan mana yang munkar, sehingga insya Allah,
dengan mudah pula
ia akan komitmen dengan yang ma’ruf dan konsisten
untuk tetap
mengingkari yang munkar. Bahkan bisa jadi ia akan tetap
tegar seperti batu
marmar putih yang tidak akan pernah terkotori oleh
apapun sampai hari
kiamat nanti.
Saudara-saudaraku
yang dimulyakan Allah …
Betapa banyaknya
fitnah yang coba dipaparkan dan ditawarkan kepada hati
kita, terutama di
era reformasi yang kata banyak orang sudah kebablasan
ini, dimana segala
hal boleh muncul dan terbuka secara bebas
sebebas-bebasnya
(terkecuali Al Haq).
Dalam era seperti
ini, sudah barang tentu banyak sekali fitnah yang
mampir kepada kita,
harta, wanita dan tahta, yang tidak lagi mengenal
batas halal dan
haram. Terlebih lagi jika kita berada di tengah kancah
kekuasaan dan
jabatan, sebab ada ungkapan bahwa jabatan atau istilahnya
tahta adalah
kubangan dua ta lainnya (wanita dan harta). Sudah barang
tentu, tingkat
kewaspadaan kita terhadap anyaman fitnah ini harus lebih
ekstra, atau
istilah grotal-gratul-nya harus lebih qalbun-qalbun seperti
dalam cerita di
muka.
Semoga dengan sikap
yang qalbun-qalbun ini kita diberi taufiq, hidayah
dan ‘inayah Allah
swt untuk memiliki hati yang " putih seperti batu
marmar, sehingga
fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada
langit dan
bumi", sebagaimana yang tersebut dalam hadits di atas,
amiiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.