Selasa, 17 April 2012

ANYAMAN TIKAR

Dalam sebuah perjalanan, dua orang santri terpaksa menempuh jalan darat
yang sangat jelek, belum diaspal, bergelombang dan banyak kubangan
lumpur. Namun, santri yang memegang setang kemudi motor, tetap melajukan
motornya dengan kecepatan tinggi.

Berkomentarlah santri yang dibonceng: "qalbun-qalbun", maksudnya:
"hati-hati, jangan ngebut, nanti kita bisa celaka".


Dari penggalan kisah di atas, kita bisa mengambil satu pelajaran, yaitu:
agar kita tidak celaka, kita mesti hati-hati, atau dalam bahasa Arab
yang masih grotal-gratul: qalbun-qalbun.

Jadi, kunci kecelakaan atau kebahagiaan terletak pada hati atau istilah
arab-nya: qalbun. Maksudnya, jika kita memperhatikan qalbun (kalbu atau
hati) kita, niscaya kita akan berbahagia. Sebaliknya, bila kita tidak
memperhatikannya, niscaya kita akan celaka.

Rasulullah saw bersabda:

Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika
ia baik, baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak, rusaklah seluruh
jasab, segumpal daging itu adalah hati (nurani). (HR Muttafaqun ‘alaih).

Namun, di sinilah letak kerumitan makhluq yang bernama hati atau kalbu
atau qalbun ini. Namanya saja qalbun. Secara harfiah, ia berarti
mbolak-mbalik (jw), bolak balik, tidak stabil, tidak konstan, cepat
sekali berubah.

Seorang penyair Arab mengatakan:

Manusia tidak disebut insan kecuali karena sifat pelupanya. Dan hati
tidak dinamakan kalbu kecuali karena ia bolak balik (cepat berubah).

Mengingat watak dan sifatnya yang seperti inilah, perlu perhatian ekstra
dan super serius agar bagaimanapun mbolak-mbalik-nya hati kita, ia tetap
beriman, berpegang teguh kepada Islam, komitmen dengan tata aturannya,
serta konsisten meniti shirathal mustaqim, atau istilah qur’an-nya
istiqamah, dan terus menerus menda’wahkannya kepada semua lapisan
masyarakat.

Tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah saw sangat sering sekali
memanjatkan do’a:

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas
agama-Mu. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata: hadits hasan).

Lebih repot lagi bila kita menyadari bahwa hati yang wataknya seperti
itu tadi, pasti dan tidak bisa tidak, akan dihadapkan kepada berbagai
macam godaan, cobaan, fitnah (menurut bahasa Al Qur’an dan Al Hadits,
yang dimaksud fitnah adalah ujian atau test, bukan gosip), dan ibtila’
(tribulasi). Baik tribulasi yang baik (harta, kedudukan atau tahta dan
wanita) ataupun tribulasi yang jelek (sakit, kefakiran atau kemiskinan,
dan semacamnya).

Rasulullah saw menjelaskan bahwa tidak ada satu hati manusia-pun yang
luput dari fitnah ini, semuanya akan dihadapkan kepada fitnah ini. Dan
fitnah ini akan melewati setiap hati manusia seperti lewatnya anyaman
tikar. Bukankah tikar tradisional itu anyamannya menyilang satu satu!
Begitu pulalah antara hati dengan fitnah itu. Setiap hati akan bertemu
dengan fitnah dan setiap fitnah pasti akan melewati hati.

Rasulullah saw bersabda: Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati,
seperti tikar, satu serat satu serat, maka hati mana saja yang menyerap
fitnah itu, akan ternodalah satu titik hitam di atasnya, dan hati mana
saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik
putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu marmar,
sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan
bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko miring,
tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa
nafsu yang diserapnya. (HR Muslim)

Bila kita hayati hadits Rasulullah saw ini, ada beberapa pelajaran yang
bisa kita ambil, diantaranya adalah:

1.Semua hati manusia akan bertemu dengan fitnah (ujian, test), bahkan
antara fitnah dan hati itu ibarat serat-serat tikar yang saling tumpang
menumpang, silang menyilang dan tindih menindih, tidak ada satupun hati
yang luput atau tidak terlewati atau terlalui fitnah itu.

2.Satu kali hati yang menyerap fitnah itu, atau menerimanya, atau OK
terhadapnya, maka jadilah fitnah itu satu noda hitam pada permukaan hati
itu. Dua kali OK terhadapnya, jadilah titik itu dua, begitu seterusnya,
sehingga kalau sering-sering OK dengan fitnah-fitnah itu, jadilah
seluruh permukaan hati itu hitam, tidak sedikitpun ada celah bagi cahaya
(nur) untuk masuk ke dalamnya, begitu juga sebaliknya, dia tidak akan
melihat cahaya (nur) selamanya. Karenanya, hati itu tidak akan lagi
mengenal mana yang ma’ruf dan mana yang munkar, tidak lagi mengenal
batasan halal dan haram, bahkan bisa jadi lebih parah lagi, yaitu: ia
akan memerintahkan yang munkar dan melarang yang ma’ruf, na’udzu billahi
min dzalik.

3.Sebaliknya, jika saat bertemu fitnah pertama kali ia tidak mau
menerimanya, tidak menyerapnya dan tidak OK terhadapnya, atau
istilahnya: menolaknya, maka penolakan ini akan menjadi satu titik putih
yang cemerlang pada permukaan hatinya, dua kali menolak dua titik, dan
seterusnya, sehingga seluruh permukaan hatinya akan berwarna putih
cemerlang, yang dengan mudah akan menerima cahaya (nur) karena sejalan
dengannya, dan dengan cahaya (nur) itu pula ia akan dengan mudah
mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang munkar, sehingga insya Allah,
dengan mudah pula ia akan komitmen dengan yang ma’ruf dan konsisten
untuk tetap mengingkari yang munkar. Bahkan bisa jadi ia akan tetap
tegar seperti batu marmar putih yang tidak akan pernah terkotori oleh
apapun sampai hari kiamat nanti.

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …

Betapa banyaknya fitnah yang coba dipaparkan dan ditawarkan kepada hati
kita, terutama di era reformasi yang kata banyak orang sudah kebablasan
ini, dimana segala hal boleh muncul dan terbuka secara bebas
sebebas-bebasnya (terkecuali Al Haq).

Dalam era seperti ini, sudah barang tentu banyak sekali fitnah yang
mampir kepada kita, harta, wanita dan tahta, yang tidak lagi mengenal
batas halal dan haram. Terlebih lagi jika kita berada di tengah kancah
kekuasaan dan jabatan, sebab ada ungkapan bahwa jabatan atau istilahnya
tahta adalah kubangan dua ta lainnya (wanita dan harta). Sudah barang
tentu, tingkat kewaspadaan kita terhadap anyaman fitnah ini harus lebih
ekstra, atau istilah grotal-gratul-nya harus lebih qalbun-qalbun seperti
dalam cerita di muka.

Semoga dengan sikap yang qalbun-qalbun ini kita diberi taufiq, hidayah
dan ‘inayah Allah swt untuk memiliki hati yang " putih seperti batu
marmar, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada
langit dan bumi", sebagaimana yang tersebut dalam hadits di atas,
amiiiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah singgah! Semoga kita segera berjumpa lagi. Saya memberi hormat atas dedikasi dan komitmen Anda untuk terus tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya menantikan suatu waktu untuk dapat berjumpa dengan Anda suatu hari.